Sabtu, 04 April 2009
Berlayar ke pulau Selayar
Ferry
penyeberangan berangkat dari pelabuhan Tanjung Bira menuju pulau Selayar hanya satu kali sehari, jam 15.30 sore (sedangkan kalau dari Selayar menuju Bira jam 10 pagi) dengan harga tiket Rp.17.500 per orang. Jadi kalau telat, silahkan anda menunggu sampai besok.
Dimana Selayar?
Entahlah, jangankan tahu dimana posisinya, tahu kalau Indonesia punya pulau yang namanya Selayar saja baru ini. Silahkan tertawakan saya, geografi saya memang payah, makanya kalau dulu pelajaran geografi sering dilempar kapur sama guru.
Saya hanya tahu kalau Tanjung Bira adalah daerah paling selatan dari propinsi Sulawesi Selatan. Jadi saat membuka travel map dan menemukan kalau setelah menyeberang dari Tanjung Bira akan banyak ditemui pulau-pulau lainnya, sayapun mengangguk setuju pada teman seperjalanan saya. Jadilah pulau ini sebagai destination point pertama kami saat jalan-jalan di Sulsel.
Jam 8 pagi kami sudah hadir di terminal, mencari angkutan yg akan membawa kami ke Tanjung Bira. Excited rasanya sepanjang perjalanan bisa lihat kiri kanan menikmati daerah baru. Normalnya perjalanan darat antara Makasar-Bira ditempuh 3 – 3,5 jam, dan untuk jarak tempuh itu mobil yang kami tumpangi berhenti satu kali untuk makan siang. Sempat agak heran juga, karena biasanya kalau waktu tempuh termasuk pendek seperti ini angkutan umum tidak berhenti makan. Tapi okelah, karena pilihan warung makannya juga lumayan enak. Sop konro hangat pun jadi menu utama kami siang itu, yang kami nikmati di daerah Jeneponto.
Mobil angkutan yang kami tumpangi ternyata “flexible” sekali. Selain berhenti makan siang, ternyata penumpang bisa bebas meminta pak supir untuk berhenti mampir dimanapun kita mau. Contohnya, ibu-ibu yang duduk disebelah saya dengan spontan meminta pak supir berhenti saat kami melewati penjual semangka dipinggir jalan. Iya, belanja semangka dulu!! Begitu mobil memasuki daerah Bulukumba, giliran si supir yang mampir dulu kerumah temannya untuk mengantarkan barang titipan. Setelah mobil jalan beberapa menit, kembali si supir mampir disalah satu rumah dan kali ini urusannya ternyata adalah jual beli mobil, sementara kami penumpangnya duduk resah kepanasan didalam mobil. Saya melirik teman saya, tampang jengkel sudah ada disana. Saat sabar nyaris hilang dan siap-siap untuk turun mobil memanggil si supir itu, diapun muncul dan langsung tancap gas. Bukan apa-apa, tapi yang bikin resah karena kami harus memburu waktu sampai di pelabuhan Bira kalau tidak mau ketinggalan ferry.
Ferry penyeberangan berangkat dari pelabuhan Tanjung Bira menuju pulau Selayar hanya satu kali sehari, jam 15.30 sore (sedangkan kalau dari Selayar menuju Bira jam 10 pagi) dengan harga tiket Rp.17.500 per orang. Jadi kalau telat, silahkan anda menunggu sampai besok. Tanjung Bira ini indah, dengan barisan pohon kelapa dipinggir pantai dan air laut bening berwarna tosca. Keasikan memotret didaerah pintu masuk pelabuhan membuat saya dan teman saya tidak sadar kalau sudah waktunya ferry harus berangkat. Pernah diklakson’in ferry? Ya itulah kami, yang langsung lari pontang-panting begitu mendengar suara klakson (eh iya, kalau buat ferry namanya klakson atau apa ya?) berulang kali plus diteriakin sama awak kapalnya. Duh..mana dermaganya jauh lagi. Begitu mencapai pintu masuk ferry, dengan napas ngos-ngosan, badan basah kuyup keringatan, langsung pasang ekspresi bersalah dan berulang kali minta maaf. Nah lho, memang enak dipelototin orang satu kapal.
Belum lagi hilang rasanya terombang ambing dikapal selama 24 jam, saat sehari sebelumnya saya menyeberang dari Balikpapan ke Makasar, sekarang ditambah 2 jam lagi diatas ferry menuju pelabuhan Pamatata di pulau Selayar. Rasanya sudah seperti si pelaut edan versi komik Asterix, Viking yang terkenal dengan topi tanduknya tapi suka bingung karena nggak tahu rasanya takut.
Menjelang maghrib ferry merapat di dermaga pulau Selayar. Begitu turun ferry kami langsung berusaha cari ojek atau angkot yang bisa membawa kami ke kotanya. Tapi ternyata, tidak ada satupun ojek yang mangkal, angkot apalagi. Ternyata pelabuhan ini letaknya diujung pulau, sedangkan pusat kotanya masih berjarak +40 km lagi. Sekeliling hanya ada air laut, hutan dan pohon kelapa, sedangkan hari mulai gelap. God, ini benar-benar salah perkiraan. Kami tadinya mengira kalau pelabuhannya pasti nggak jauh dari pusat kota dan pasti banyak angkutan umum yang berseliweran dari pelabuhan ke kota. Ternyata…semua orang yang datang ke pulau Selayar ini sebaiknya naik bis tujuan Benteng (ibu kota kabupaten Selayar) yang berangkat dari Makasar, karena tak ada angkutan umum yang mangkal di pelabuhan. Akhirnya kami mendatangi bis yang sedang membongkar muatannya, dan menanyakan apa masih ada tempat kosong untuk kami berdua. Alhamdulillah ada, walaupun harus duduk diatas karung beras. Saya sempat takjub sendiri melihat muatan bis yang kami tumpangi, dari mulai beras, obat nyamuk, sapu ijuk sampai sepeda motor ada disana.
Bis berjalan pelan dijalanan yg sempit, sementara diluar malam sudah turun dan praktis tak bisa menikmati pemandangan apapun. Sepertinya seluruh angkutan umum rute Makasar – Selayar memang sudah ditakdirkan untuk selalu flexible. Kali ini bis yang kami tumpangi harus keluar masuk kampung, mengunjungi rumah demi rumah untuk menurunkan barang-barang yang ada didalam bis, karena hampir seluruh kebutuhan penduduk di pulau ini dibawa langsung dari Makasar. Maka jadilah malam itu kami berwisata keliling pulau sambil membagikan barang-barang kesetiap warung yang ada. Kondektur bis pun sibuk menurunkan beberapa karung beras di rumah A, terus sapu ijuk dan rak piring diwarung B, menyusul mie instant dan obat nyamuk di rumah C, begitu terus sampai akhirnya bis pun kosong melompong. Total waktu 3 jam yg dihabiskan untuk itu semua, sudah termasuk acara ramah tamah, bercengkerama dan silaturahmi supir dan kondektur bis dengan pemilik warung. Kalau sudah begini tak ada gunanya lagi jengkel, hanya tinggal menikmati perjalanan dan kami pun cuma bisa tertawa didalam bis. Sampai akhirnya jam 9 malam bis itupun berhenti tepat didepan penginapan yang akan menampung kami malam itu. Well, pas 12 jam waktu yang kami tempuh untuk sampai di pulau ini, dan malam itu sebelum tidur harapan kami semoga alam yang akan kami lihat besok pagi tak mengecewakan.
Awal yang baik. Pagi itu lagit biru cerah seolah menyambut kedatangan kami di pulau ini. Kami memutuskan untuk menggunakan jasa ojek untuk berkeliling di pulau ini, karena memang tak ada angkutan umum lain yang bisa digunakan.
Selayar adalah satu-satunya kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan yang berada ditengah lautan dan ibukota kabupaten adalah Benteng. Potensi wisata bahari yang dimiliki pulau ini sebenarnya sangat banyak, sayangnya pengembangannya terlihat belum dilakukan maksimal. Selama ini pertanian masih menjadi andalan utama perekonomian wilayah yang sering di sebut Bumi Tana Doang yang berarti bumi tempat memohon kepada Yang Maha Kuasa.
Untuk kawasan pantai, ada daerah pantai barat dan pantai timur. Di sebelah barat ada pantai Baloiya yang terletak lebih kurang 9 km dari kota Benteng, dengan air yang jernih dan pasir putih. Disekitarnya terdapat beberapa pulau kecil dan gua yang menurut penduduk sekitar memiliki jalan tembus menuju laut. Sedangkan di daerah timur ada pantai Bone Tapallang yang berpasir putih dengan terumbu karang yang indah. Dapat diakses dari dermaga ferry Patumbukan dengan menggunakan perahu tradisional kira-kira 20 menit. Sebuah dive resort milik investor Jerman sudah ada di tempat ini. Masih dalam satu garis pantai dengan tempat ini ada Bone Sialla, tempat yang bagus untuk snorkeling. Desa wisata Jammeng yang terletak 4 km dari Bone Sialla juga menyuguhkan sunrise yang indah di pagi hari dan disana ada air terjun juga.
Salah satu aset Kabupaten Selayar yang dikenal dunia adalah Taman Nasional Takabonerate yang terdiri dari 21 pulau-pulau kecil dan terletak di Laut Flores. Konon, Takabonerate merupakan karang atol terbesar ketiga di dunia setelah atol Kwajifein di kepulauan Marshal dan atol Suvadiva di Maldiva. Luasnya mencapai 220.000 hektar dan memiliki aneka biota laut yang termasuk spesies langka. Taka Bonerate dapat dicapai dengan menggunakan kapal motor selama 3 jam dari dermaga ferry Patumbukan. Namun fasilitas di tempat itu termasuk penginapan, masih sangat terbatas.
Menjelang senja, hari itu kami akhiri dengan menikmati sunset yang indah di pelabuhan Benteng yang tak jauh dari hotel tempat kami menginap, sambil menyaksikan perahu – perahu nelayan merapat.
Sayangnya waktu kami tak cukup untuk bisa berlama-lama menjelajahi sudut pulau ini, dan pukul 7 keesokan paginya kami sudah bersiap-siap di terminal bis yang akan membawa kami kembali ke Makasar. Tepat pukul 10 pagi, kapal ferry yang kami tumpangi mulai bergerak membelah lautan yang tenang meninggalkan Selayar, pulau yang masih harus banyak ‘berhias’ untuk menampilkan pesona bahari terbaiknya.*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Wah indahnya cara anda bertutur... membuat saya tersenyum dan ikut merasakan indahnya pemandangan alam...sayapun semakin bertekad untuk pergi ke Selayar, entah kapan. Salam, Bambang, Makassar.
Posting Komentar