Laman

Sabtu, 04 April 2009

Menikmati Indah Panorama Kabupaten Selayar


1 February 1996, adalah pencarian pertamaku. Telah kupilih merdeka untuk meneruskan sebuah fase baru setelah perkuliahan yang melelahkan. Hari itu setelah berkenalan dengan komunitas pulau Rajuni di Taka Bonerate, sekitar bulan April-Juni 2005, saya mendapatkan gambaran seperti apa mejadi bagian penting dalam mengembangkan sumberdaya pesisir yang sangat kaya seperti Taka Bonerate.
Tepat, Januari 2006, saya memutuskan untuk ikut program pendampingan masyarakat pulau Rajuni. Seakan gayung bersambut, kala itu banyak alumni Kelautan, gamang, mencari jati diri, mencari ruang yang sesuai, sepadan dengan nama besar Makassar sebagai daerah maritim yang kental dengan karakter kelautannya.

Dalam semarak gerakan penguatan sosial akar rumput dan semakin menjamurnya LSM di tanah Makassar saya memilih bergabung dengan senior-senior yang telah teruji dan (menurutku) mempunyai visi yang kuat dan benar. Saya tidak menyebutkan namanya disini untuk menghormati Beliau. Disini kami menerimamu dengan apa adanya, kami akan bangga kalau kamu bisa keluar dengan lebih dari apa adanya. Tumbuh dan berkembanglah tanpa mesti diatur jadwal karena yang kami butuh adalah pemihakanmu dan sumbangsihmu untuk pemberdayaan pedesaan, pantai, dan masyarakat. (dedicated to my "SL")

Saya ditempatkan di Taka Boneratelah untuk satu program pendampingan masyarakat nelayan diharapkan dapat menggali sedalam dalamnya, berkawan sebanyak banyak, catat sepanjang panjangnya dan dengar apa kata masyarakat, itumi gunanya telingamu dua dan mulutmu satu, supaya kau banyak mendengar. Dengarkan saja apa yang mereka sebut jangan melawan, jangan membantah, bawa diri dan tetaplah tersenyum. Itumi tugas pendamping. (dedicated to my "PH")

Lalu merambat pelan pete-peteku, meninggalkan Urip lalu ke Tamalanrea. Kerjama gang...apa kerjata, kak? LSM...datar....Ngekost, tinggal dan dekat dengan anak-anak mahasiswa yang selalu bermimpi tentang pekerjaaan dan menerawang status sosialnya kelak, seringkali membanggakan walau saya belum yakin dengan pilihan pekerjaan ini. Mengepak barang, bersalam peluk dengan Tamalanrea. o Amma' Mauka', saya akan ke Selayar salamku sama daeng Baji, ke Taka Bonerate.

Perjalanan ke Taman Nasional Taka Bonerate

Untuk ke lokasi program di Taka Bonerate (see: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_takabonerate.htm ) saya mesti menumpang kapal kayu barang (cargo 25 Grosston) dari Paotere ke Taka Bonerate, saya ingat dengan kapal motornya Nawar, ini mengangkut semen di bagian palka dan terigu di geladaknya. Pas, 20an Ton. Kapal-kapal yang ada di Paotere umumnya lintas wilayah kepulauan, bahkan ada yang ke Jawa, Kalimantan, Bima dan Kupang.

Menyenangkan di kapal, ada beberapa warga Taka Bonerate yang ikut menumpang, terdapat 5 orang kala itu. Kapal motor start jam, 19.00 WITA, dilengkapi dengan mesin ganda, 23 PK dan 17 PK. Sebagaimana lazimnya, tek tek tek....bising, berbunyi keras, dan memekakkan telinga. Saya, tidak mau berlama-lama dalam geladak saya pindah ke bagian atas, tempat kemudi (guling) resikonya angin malam, asap dan dingin menusuk rongga. Yang kucatat dari detik-detik meninggalkan Paotere adalah, kapal patroli polairud, yang diatasnya mendekati kapal dan menegur sang Nakhoda, saya melihat ada sesuatu yang diberikan, surat2 PAS kapal, kata juragan. Semoga tidak dipajakki, batinku.

Perjalanan dari Makassar ke Taka Bonerate, dengan tujuan utama pulau Rajuni biasanya ditempuh selama sehari semalam atau antara 24 jam - 30 jam, tergantung cuaca. Dalam perjalanan menuju kawasan ini, masa-masa sulit biasanya saat memasuki peraiaran Takalar (Tanakeke) dan perairan Pulau Kayuadi dan di dekat pulau utama Selayar atau Appatanah.
Agak sulit merekam suasana perjalanan, kecuali merasakan, ikan beronang kering digoreng lalu di masak tumis dengan asam flores (camba plores) yang disantap dengan nasi putih masakan si Saibung, sang koki kapal anak Bajo. Nyam nyam nyam.

Persingkat cerita, saya menempuh perjalanan dari Makassar, ke Rajuni selama 32 Jam, dan masuk ke perairan Rajuni, dini hari.
Sebelum ke lokasi program di pulau Jinato tempat dimana saya dan kawan baik saya "AN" alias Jay, akan ditempatkan saya masih sempat berbincang-bincang dengan masyarakat di desa Rajuni, karena kapal merapat disini. Teringat pak Coang, Sannawing, pak Darwis, Haya, dan beberapa lainnya. Mereka sangat ramah. Pulau Rajuni ini atau desa Rajuni, merupakan pulau tertua dan pulau pertama di huni oleh suku Bajau dan belakangan kemudian dikunjungi oleh seorang pendakwah, bergelar Puang Kali' menurut cerita, asalnya dari Tanah Marusu' lalu oleh pendatang Bugis dari Sinjai dan Bone.

Jinato dan Yang Kucatat

Menjangkau pulau Jinato dengan jollor (sejenis perahu kayu kecil 3-5 ton) dari Jinato biasanya sekitar 2 jam ke arah selatan. Kala itu saya berangkat jam 8, tetap menumpang di kapal Nawar, yang akan ke daerah Kalabahi, daerah di sebelah barat Flores. Kami menumpang dan tiba di pulau Jinato, pukul 11.00 WITA.

"Mariki, masukki di rumah", kata kepala desa Jinato pak Haji Syahring, yang belakangan saya baru tahu tidak bisa baca tulis. Menurutnya, di desa ini hampir 100 persen Bugis, Sebagian besar Sinjai dan sebagian dari Bone. Kira-kira ditaksir terdapat 125 KK atau setara 700 jiwa.
Menurut pak Desa, disini sudah banyak petugas, sejak kawasan ini jadi Taman Nasional, ada polisi, tentara babinsa, ada angkatan laut, ada juga Polhut, jagawana....ndak tau apa artinya. Banyak sekalimi petugas tetapi masih banyak pa'boong (pembom ikan). Pak "K" dan pak Jay, Eh nanti kapang, kita tinggalmi di rumahnya Ambo'na Takwin, keluarga ji itu....kata pak Desa Syahring.

Hari pertama, saya keliling melihat-lihat keadaan pulau Jinato (Village mapping), mengamati keadaan pesisirnya, coastal area, shorelinesnya, perahu-perahu jolor yang berbaris mengarah ke Kayu Adi, wanita wanita yang berbaris di tangga rumah sambil mencari kutu, pria nelayan yang membersihkan sampan dan jolornya, anak anak SD yang bergegas ke sekolah, dan pedagang pengumpul (fish trader/collector), gadis yang mandi di pelataran rumah dengan sarung batik, puskesmas yang tiada berisi.

Inilah Jinato, desa kecil di sebelah barat kawasan Taman Nasional Taka Bonerate (diresmikan dengan UU pada tahun 1992). Kawasan yang diharapkan dapat melesatarikan ekosistem pesisir dalam laut, terumbu karang, padang lamun, peraiaran laut dalam, penyu sisik, napoleon (chelinus undulatus) dan banyak lagi kekayaan lautnya.

Di Jinato, saya bisa memahami sedikit demi sedikit tantangan dan permasalahan Taman Nasional Laut ini, maraknya pemboman ikan (blast fishing atau destructive fishing), pembiusan ikan (poisoning fish) dan masih rendah kapasitas sosial ekonomi masyarakat setempat

Hari kedua tantangan itu menjadi semakin jelas, manakala seorang anak muda, 15 tahun datang ke kolong rumah ambe'na Takwin sambil menyodorkan amplop disertai ucapan; Ini pak, ada kiriman dari pak DusunG...

Lalu saya menerawang, ke pernyataan kepala Desa sehari sebelumnya" Herang tonga saya, kenapa na semakin banyak petugas di kawasang Tamang Nasional tapi pemboman ikan makin meluas, merajalela? dalam liukan pengaruh bahasa Bugisnya.

Lalu, kujawab, maap Andi' saya adalah mahasiswa, sedang penelitian..."belum" perlu amplop.
dalam bahasa Indonesia: Saya juga heran, kenapa semakin banyak petugas di kawasan Taman Nasional tetapi pemboman ikan semakin meluas dan merajalela.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Betapa indahnya cara anda bercerita, membawa saya ke alam yg saya bayangkan selama ini. Bersyukurlah kita punya orang2 seperti anda yang iklas dalam perjuangan. Saya jadi teringat, bhawa saya ingin melakukan perjalanan2 jauh seperti yang anda lakukan.. Salam. Bambang at 2000tahuncahaya@gmail.com from Makassar