Laman

Selasa, 12 Januari 2010

Konversi Mangrove (Hutan Bakau)

Konversi atau peralihan penggunaan mangrove dilakukan untuk berbagai keperluan, seperti pembuatan tambak, pengembangan pertanian, eksploitasi hutan, kegiatan pertambangan timah, industri, pemukiman, dan pembangunan prasarana di wilayah pesisir.
Ancaman terbesar dari kegiatan manusia terhadap mangrove adalah eksploitasi komersil untuk memperoleh kayu, arang, dan tiang-tiang bangunan, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Eksploitasi mangrove akan mengakibatkan perubahan vegetasi. Bila mangrove ditebang habis, biasanya areal akan ditumbuhi oleh vegetasi yang kurang berharga, seperti jenis Derris herophylia, Wedelia biflora, Ischaemum muticum, Panicum repens, Cyperus malaccensis, Capperus javanica, dan Fimbrystylis ferruginea.
Budidaya ikan dan udang adalah kegiatan komersial lainnya yang mengubah sejumlah besar hutan mangrove untuk tambak. Sebagian besar di antaranya terdapat di Pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Jenis komoditi yang dibudidayakan adalah udang windu (Penaus monodon) bandeng (Chanos chanos), dan mujair (Tilapia mosambica).
Hutan mangrove juga bertambah menarik bagi pengusaha hutan karena merupakan sumber kayu lunak berserat pendek untuk menghasilkan pulp dan kertas. Pada tahun 1970 saja telah dilaporkan produksi kayu mangrove sebesar 250.000 meter kubik per tahun dan diperkirakan pada tahun 1990 telah meningkat dua belas kali lipat.
Kegiatan komersial lain yang mempengaruhi keberadaan hutan mangrove adalah pertambangan gas dan minyak bumi serta fasilitas penyimpanannya, seperti terdapat di Bontang, Kalimantan Timur, pertambangan timah di Sumatera, industri garam di Madura, dan kegiatan pertanian lainnya.
Menurunnya luas hutan mangrove di beberapa tempat di Indonesia, di duga akan mempengaruhi penurunan potensi udang, ikan dan kerang-kerangan. Adanya kekurangan pengertian akan pentingnya peranan hutan mangrove dalam ekosistem pesisir ini telah meningkatkan pemanfaatannya secara sepihak dan akan memperbesar dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Mangrove juga peka terhadap pencemaran. Kegiatan kehutanan di daerah hulu sungai dapat menyebabkan abrasi. Penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk pada kegiatan intensifikasi pertanian merupakan sumber pencemaran bagi fauna dan flora di wilayah perairan.
Limbah cair dari pemukiman dan industri masuk ke dalam aliran sungai dan akhirnya masuk ke perairan pantai. Kilang dan terminal minyak di Cilacap yang terletak tidak jauh dari hutan mangrove, menyebabkan mangrove ini terancam oleh pencemaran minyak.
Punahnya mangrove juga berarti hilangnya fungsi mangrove sebagai pelindung pantai dan penahan ombak. Hal ini dapat menimbulkan abrasi seperti yang terjadi di pantai Utara Jawa.
Penebangan habis hutan mangrove dapat menyebabkan abrasi pantai karena secara morfologis dataran pantai mangrove tidak pernah matang dan mantap. Kasus demikian, terjadi di berbagai tempat di pantai utara Pulau Jawa, termasuk di delta-delta yang tumbuh relatif cepat ke arah laut.
Contoh yang menonjol terdapat di delta Citarum dan delta Cimanuk. Sebaliknya, penanaman mangrove secara tepat, biasanya dapat memacu pertumbuhan daratan dan mengurangi laju abrasi.