Laman

Senin, 06 April 2009

Sejumlah Barang Di Duga Milik Penumpang Kapal Naas

Masih dalam kaitan hilang dan tenggelamnya tiga kapal naas masing-masing KM. Senopati Nusantara Semarang, Tri Star dan Pesawat Boeing 737-400 nomor penerbangan KI-574 tujuan Surabaya-Manado yang hilang pada (1/1) 2007 lalu, sejumlah barang yang patut di duga sebagai barang milik penumpang ketiga kapal bernasib naas itu, ditemukan terdampar di sepanjang pesisir pantai Kabupaten Selayar Sulawesi-Selatan selama beberapa pekan terakhir ini.
Penemuan pertama berlangsung di pesisir pantai Tanjung Menangis lingkungan Bonea Utara, Kelurahan Benteng Utara, Kecamatan Benteng, saat salah seorang wartawan media terbitan mingguan Makassar sedang melakukan aktivitas pengambilan gambar dampak pasca terjadinya bencana banjir dan angin kencang di Kabupaten Selayar beberapa waktu lalu.
Saat sedang melakukan aktivitas pengambilan gambar hari itu, tiba-tiba matanya tertuju pada sejumlah barang yang patut di duga sebagai bagian dari barang penumpang kapal tenggelam seperti, KM. Senopati Nusantara Semarang, Tri Star dan Pesawat Boeing 737-400 milik maskapai penerbangan Adam Air. Adapun jenis barang yang ditemukan masing-masing adalah, dua buah tas anak-anak dengan ciri-ciri masing-masing berwarna biru-merah dan tas warna pink bergambar boneka Barbie pada saku bagian depannya. Satu buah balon kapal berbentuk lonjong, kain kulit warna hitam di duga kulit job kursi, balon neon 20 what, kain rok warna coklat, selembar kain putih, yang menurut hasil analisa sementara di duga hanya kain spanduk.
Namun dugaan lain menyatakan, kain itu bias jadi adalah kain sal atau mungkin pula jilbab milik salah seorang penumpang dari ketiga kapal bernasib naas tersebut. Selain itu, dari tangan warga juga berhasil diamankan sisa makanan ringan merk fugu sebanyak enam bungkus, satu botol pop mie jenis ABC yang isinya menurut Alawing (penemu barang, red) telah ia makan sesaat setelah ditemukan terdampar di pesisir pantai Tanjung Menangis, sekitar hari Sabtu (6/1-7/1) beberapa pekan lalu.
Dimana menurut penuturan warga setempat, selama musim barat ini warga kerap kali menemukan barang terdampar di sepanjang pesisir pantai Tanjung Menangis yang tepat berada dibelakang tempat tinggal mereka.
Menyusul ditemukannya, satu lembar pakaian anak-anak kotak-kotak warna hijau bergambar popeye, satu buah rompi anak-anak warna hitam silver dan dompet bertuliskan Kopassus lengkap dengan lambing Kopassus. Barang tersebut ditemukan dibelakang bangunan Plaza Marina, menyusul adanya informasi dari salah seorang warga Jl. Soekarno Hatta bernama Tura yang mengaku pernah menemukan sebuah pelampung dan sepatu kulit tanpa pasangan yang dia temukan bersama tiga orang rekannya sesama kuli bangunan masing-masing, Densi, Suaib, dan Olleng. Namun dijelaskan Tura, ia sendiri sudah lupa apa tulisan yang terdapat di pelampung tersebut.
Setelah dikroscek ke tkp pelampung tersebut sudah raib dari tempatnya. Berselang beberapa hari kemudian penyisiran yang dilakukan di sepanjang pesisir pantai Tanjung Menangis kembali membuahkan hasil dengan ditemukannya barang-barang berupa, tas pakaian warna hitam bertuliskan SPORT pada bagian saku depan, topi-topi anak-anak (cewek) lengkap dengan hiasan rambut dikepang yang kerap digunakan anak-anak usia dua tahun warna kuning-putih, celana panjang jeans levis warna biru, sobekan tas warna hitam (tali bagian punggung belakang tas), celana panjang kain warna coklat muda, baju jeans levis lengan panjang warna biru, dan baju kaos warna hijau yang pada bagian keranya terdapat tulisan nama Laura Jones ditulis dengan menggunakan tinta spidol warna hitam.
Selain pakaian, juga ditemukan kurang lebih satu karung air aqua botol dan gelas, masing-masing merk, Flow, Club dan Aqua, baik Aqua ukuran botol sedang, maupun Aqua ukuran botol besar, berikut tiga buah sikat gigi merk Formula (pakai helm), satu botol lemon Washing Liquid, Sendok sayur, satu buah mangkok, rantangan (tempat perbekalan dan sejumlah gelas plastik, diduga peralatan dapur kapal tenggelam.
Sementara itu, di Posko Satlak-PB Kabupaten Selayar juga diamankan selembar jaket berwarna hitam bertuliskan TNI-AD, Yonif 406 lengkap dengan lambang Chandra Kusuma atas nama, E. Tahaul, berikut sebuah tas ransel warna hitam bertuliskan, Gregory berisi, cas hp Sony Ericson (kondisi dibalut isolasi), foto-foto keluarga, pakaian terdiri atas, satu lembar celana panjang jeans levis, baju kaos berwarna hitam bertuliskan, Cardova 579 Generation, satu celana dalam pria warna abu-abu, songkok haji warna merah, selembar handuk warna merah-biru-ke kuning-kuningan, selembar sarung warna hijau, baju kaos warna hitam-abu-abu bertuliskan, MCB INT’L CLOTH CO. Tas tersebut ditemukan terdampar di pesisir pantai Desa Appatanah Kecamatan Bontosikuyu Kabupaten Selayar Sulawesi-Selatan, Kamis, (1/02) 2007 dalam kondisi ditumbuhi tirang laut.
Selain tas, pakaian dan barang yang di duga sebagai milik penumpang kapal bernasib naas juga berhasil ditemukan tiga buah serpihan pesawat Adam Air antara lain, job kursi bagian belakang bertuliskan, AA-01, tabung pemadam kebakaran pesawat warna hitam, dan serpihan di duga sebagai saringan AC isi bagian dalam pesawat nomor seri, 4200613547 dan tanggal pembuatan tertera Juni, 1-1988. Serpihan terakhir yang diduga sebagai saringan AC pesawat itu ditemukan di Jl. Soekarno Hatta Benteng Selayar, oleh warga bernama Sangkala.
Ketiga serpihan tersebut saat ini diamankan di dua tempat masing-masing diruang identifikasi Mako Polres Resor Selayar dibawah penanganan Brigadir Mustari Muchtar, dan AIPTU. Edy Supriyadi dan Posko Satlak-PB Kabupaten Selayar di Jl. Jend. Achmad Yani, tepatnya disamping markas Polisi Pamong Praja Kabupaten Selayar. (Laporan : Fadly Syarif, langsung dari Kabupaten Selayar Sulawesi-Selatan).

Sepenggal Coretan Puisi


Bonerate iSland is My Camp..............., tempat kuawali sebuah kehidupan yang sampai hari ini diperhadapkan pada kejenuhan-kejenuhan akan penafsiran kebenaran yang hakiki yang sampai hari ini juga diperdebatkan orang-orang.............,Kontekstual adalah yang saat ini...

Kilang Minyak Dipastikan Berdiri Di Selayar



Maaf ni..mau tanya bu...rencana KIlang minyak di selayar jadi nggak ya??? Demikian sepenggal pertanyaan yang diajukan salah seorang putra daerah Kabupaten Kepulauan Selayar di Papua, atas nama Arby Syarif kepada Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar, Hj. Nursyamsina Aroeppala via face book.
Menjawab pertanyaan tersebut Wakil Bupati Selayar menyatakan, Rencana tetap ada, letak P.Selayar yg strategis utk kilang dan investor yg serius memang ada. Tapi msh butuh waktu dlm proses mis.amdal, tax holiday.yg diminta investor, mslh lahan.dll. Pemkab Selayar sgt hati2 dlm memilih investor, karena ini.investasi jangka.panjang jadi harus jelas manfaatx.buat masy dan tidak akan merugikan masyarakat.
Menanggapi jawaban Wakil Buapti, Arby Syarif mengungkapkan, makin cepat makin baik bu..cozz banyak putra-putri harus merantau ke daerah lain..nan jauh untuk bekerja. seperti kami di papua ingin sekali balik ke daerah untuk bekerja dan membangun di daerah sendiri...tapi gimana caranya..nggak ada pekerjaan yang sesuai dengan background kami....!!!
Terkait pernyataan lanjutan Arby Syarif Nursyamsina Aroeppala menuturkan, lebih cepat lebih baik, tapi ada 3 hal penting yg harus dicermati dimana kendalinya bukan ditangan pemkab yi jaminan supply bahan baku, dana, dan off taker. Selama ini beberapa perusahaan yg mau invest belum dapat memberikan keyakinan kepada pemkab.ttg ketiga hal tsb. Bahkan dana utk penyelesaian lahan saja belum dpt disediakan. Pemkab sangat ber-hati2 krn ada yg dikira investor ternyata cara kerjanya mirip broker. Tapi pemkab tetap membuka pintu bagi investor yg serius, bahkan kita akan beri kemudahan sepanjang tdk melanggar.aturan/ketentuan yg berlaku. Mohon maaf jika mengecewakan tp itulah kenyataannya. Sabar dan berdoa ki' smoga cepat terwujud. Insya Allah.
Pernyataan Ina ini, kemudian diaminkan Arby melalui ungkapan rasa terimakasih, seperti kutipan berikut : thank's bu....!!! Doa itu dah pasti bu...!!!

Nur Syamsina Aroeppala Berjuang Di Jakarta




@fadly syarif, I've already forgot that"accident" sabar,tawakkal dan selalu percaya bhw ada hikmah dibalik setiap musibah. Ok? Btw, pemkab kep.Selayar sedang berjuang di prov dan pusat utk penambahan armada agar ASDP dapat memberi pelayanan yg lebih baik kepada masy. Upaya untuk mengajak pihak swasta jg sedang dirintis. Sabbaramaki urangsiana, bissanna na lassiri juai terlaksana.@awal,that's good idea, angan atau mimpi bisa jadi kenyataan, dulu orang Madura awalnya angan2 jg tp ternyata bisa jd kenyataan.

Bersama “Cinta Laut” Berlayar ke Selayar


Bagaimanakah rasanya berlayar dengan perahu Pinisi yang kesohor itu? Citizen reporter Rezka Larasati, mahasiswa UGM Yogyakarta yang ikut dalam ekspedisi pelayaran ke Kepulauan Taka Bonerate, Selayar dengan perahu Pinisi membagi pengalamannya berikut ini. Sebagai “orang darat” yang menghabiskan hari-harinya di laut dan di pulau-pulau kecil, ia pulang membawa banyak pengalaman sekaligus banyak pertanyaan. Mari kita simak catatan perjalanannya. (p!)

Saya tak pernah menyangka dapat naik kapal Pinisi, meski itu hanya replika. Kapal bernama Cinta Laut itulah yang membawa saya mengarungi Laut Flores, menempuh jalur Tana Beru - Benteng (Pulau Selayar) – Kepulauan Taka Bonerate. Ini pengalaman luar biasa.Bukan apa-apa, saya seorang perempuan, asal Jakarta, dan kuliah di UGM Yogyakarta. Latar belakang saya amat jauh dari pusat kebudayaan bahari Sulawesi Selatan.

Hati ini terasa gusar membayangkan ombak yang menggoyang perahu. Tapi, kegusaran ini dikalahkan oleh rasa penasaran saya terhadap laut yang katanya menyimpan keindahan yang luar biasa.

Di akhir bulan Agustus hingga awal September, saya ikut dalam kegiatan “Development of a Cultural Exchange Program Through Sailing Experience and Wooden Boatbuilding Technology in Sulawesi, Indonesia”, berlayar dengan kapal riset “Cinta Laut” milik Lembaga Perahu, organisasi yang dibentuk Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Universitas Ehime, Jepang untuk memfasilitasi riset-riset budaya maritim di Sulawesi.

Namun, sebelum bertolak ke laut, kami berkunjung ke tempat pembuatan Pinisi di Tana Beru, Kabupaten Bulukumba, SulSel. Tana Beru merupakan tempat pembuatan perahu kayu tradisional terbesar di dunia. Selama dua hari, 28-29 Agustus 2007, saya dan teman-teman yang berasal dari Universitas Gorontalo, Universitas Hasanuddin, Universitas Ehime Jepang dan Universitas Asia Pasifik, Jepang mengamati teknik pembuatan perahu di Tana Beru.

Nara sumber utama kami adalah Haji Jafar, panrita lopi (ahli perahu) yang membuat kapal “Cinta Laut”. Menurut Haji Jafar, tidak semua pengrajin kapal mampu membuat kapal yang berkualitas. Hanya orang-orang yang mendapat barakka’ (berkah) dari Allah yang mampu membuatnya. Keyakinan terhadap barakka’ tersebut yang mampu memotivasi untuk membuat kapal yang rapi dan berkualitas. Keahlian tersebut kemudian diwariskan kepada anak cucu mereka demi keberlangsungan pembuatan perahun, utamanya perahu layar motor, yang sudah mengandalkan mesin sebagai tenaga pendorong.

Dari Benteng ke Bahuluan
Pada tanggal 30 Agustus 2007, pinisi Cinta Laut meninggalkan Tana Beru, menuju Benteng, ibukota Kabupaten Selayar. Pelayaran ini lumayan lama untuk orang darat seperti saya. Kami menempuhnya dalam waktu lebih tiga jam.

Tiba di pelabuhan Benteng, Selayar, saya melihat kapal-kapal berlabuh. Kebanyakan kapal barang yang memuat kebutuhan pokok yang didatangkan dari Makassar. Beberapa kapal di antaranya mengangkut kopra dan cengkeh, komoditas utama pulau ini. Di sela-sela kapal barang, ada juga kapal yang mengangkut banyak orang. Menurut penjelasan Osozawa, dosen Universitas Ehime yang mengkoordinir ekspedisi ini, mereka itu adalah orang-orang yang datang dari pulau lain di kawasan Laut Flores. Mereka rutin datang ke Benteng untuk berdagang atau untuk keperluan lain.

Saya juga sempat berkunjung ke Pasar Benteng. Tak berbeda dengan pasar manapun di Indonesia yang penuh dengan dinamika. Tapi ada yang khas di Pasar Benteng. Di sini banyak dijual buah kenari, juga banyak cengkeh terhampar, dijemur di tempat lapang, dan di gerai penjual banyak terdapat keranjang bambu yang unik. Keranjang ini adalah wadah emping melinjo, buah tangan khas Selayar. Emping ini banyak dijual lapak-lapak di pasar.

Yang juga menarik perhatian saya, adalah mobil-mobil angkutan yang tua, yang sepertinya di Jawa sudah tak ada lagi. Mobil angkutan dengan model pintu terbuka di bagian belakang. Mobil-mobil ini berjejer rapi mengarah ke pantai menunggu penumpang dan barang yang akan diangkut.
Keesokan harinya, Cinta Laut beraksi kembali menuju Pulau Bahuluan, pulau kecil tak jauh dari ujung selatan Pulau Selayar. Kali ini saya merasakan mabuk laut yang luar biasa karena memang saat itu ombak sedang ganas-ganasnya. Karena ombak keras menghantam pulau di sisi timur, Cinta Laut berlabuh di sisi barat.

Dari sisi barat ini, kami masih harus melintasi Pulau Bahuluan dengan berjalan kaki, sebab bagian pulau berpenghuni ada di sisi timur. Kawasan yang dilintasi lumayan berbahaya karena banyak terdapat batu karang yang tajam. Jika terjatuh, bisa dipastikan akan luka. Setelah berjalan hampir setengah jam, kami pun tiba.

Di pulau ini pemandangannya sangat berbeda dengan Pulau Selayar. Rumah-rumah mereka terbuat dari bambu, berbentuk panggung dan atapnya dilapisi daun nyiur. Rumah yang tampak sederhana, tanpa jangkauan listrik dari PLN dan air tawar dari PDAM. Sebagian besar laki-laki di pulau ini pergi ke laut mencari ikan, lobster, teripang, dan lain-lain. Saya sangat senang bisa bersua dengan orang-orang di pulau kecil.
Sementara kaum perempuan, bekerja di rumah membuat tikar dari daun kelapa, mengeringkan kelapa, atau pun mengeringkan teripang.

Masyarakat Bahuluan ternyata masih menghargai kelestarian laut mereka. Setiap orang menggunakan alat tangkap tradisional berupa bubu dan kedo-kedo untuk menangkap ikan. Pulau Bahuluan juga merupakan daerah situs sejarah. Konon, Jepang menjadikan pulau ini sebagai tempat latihan perang bagi orang-orang Indonesia untuk menghadapi tentara sekutu di masa Perang Dunia Kedua.

Penduduk Pulau Bahuluan rata-rata keturunan orang Ternate. Ada seorang penduduk tua yang masih menyimpan artefak moyannya yang berasal dari Tobelo, berupa parang dan perisai. Parangnya mirip dengan yang dihunus Pahlawan Nasioanl Pattimura yang ada dalam gambar uang pecahan Rp1.000.

Melihat Terumbu Mati di Taka Bonerate
Setelah bermalam di Pulau Bahuluan, keesokan harinya pelayaran ke tujuan utama dimulai, yaitu Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate atau Kepulauan Taka Bonerate. Saya merasa asing mendengarnya, karena yang saya tahu di Indonesia hanya Kepulauan Seribu. Padahal inilah salah satu taman laut terindah dan terluas di dunia.

Dalam pelayaran, kami diberi informasi dasar mengenai Taka Bonerate. Taka Bonerate adalah atol terbesar ketiga di dunia. Atol adalah puncak gunung di laut. Meski gunungnya “tenggelam” tapi bibir kawahnya yang “ditumbuhi” terumbu karang selama ribuan tahun membuat puncak gunung muncul di atas permukaan laut. Maka timbullah pulau-pulau. Bila dilihat dari udara, tampak seperti cincin. Makanya atol biasa juga diterjemahkan terumbu karang cincin.

Taka Bonerate berada di sebelah tenggara Pulau Bahuluan. Pelayaran butuh waktu lebih enam jam untuk mencapainya. Kembali saya mabuk laut. Tampak di dalam peta yang ada di ruang kemudi Cinta Laut bahwa Kepulauan Taka Bonerate terdiri dari banyak pulau, dan puluhan gosong. Rencananya kami akan mengunjungi lima pulau, yaitu Pulau Tarupa, Pulau Tinanja, Pulau Tinabo, Pulau Rajuni Kecil dan Pulau Jinato.
Kepulauan ini dijadikan Taman Laut Nasional karena potensi terumbu karangnya. Karena merupakan taman nasional, maka untuk memasuki kawasan tertentu harus mendapat izin dari pihak Jagawana. Meski kami sudah mengantongi Surat Izin dari Jagawana di Benteng, kami harus tetap melapor ke pihak Jagawana di Taman Nasional Taka Bonerate.

Banyak hal yang menarik dari pulau-pulau tersebut. Hamparan pasir putih yang indah, laut yang bersih dan terumbu karang yang berwarna-warni, aneka spesies laut yang mempesona, dan tentu saja keunikan suku-suku yang tinggal di pulau-pulau tersebut beserta keragaman sosial kultural mereka.

Pulau pertama yang saya kunjungi adalah pulau Tinanja (meski berlabuh di dekat Pulau Tarupa dan hanya fasilitator pelayaran yang mendarat di pulau itu). Pulaunya tak berpenduduk. Sepi. Hanya hamparan ilalang yang tumbuh dan tampak lima-enam buah pohon kelapa yang tinggal batangnya saja. Pulanya amat kecil, memanjang tak sampai 100 meter, lebarnya selemparan tangan. Pulau ini adalah daerah Zona Inti di Taman Nasional Taka Bonerate, yaitu zona yang tak boleh dilakukan penangkapan ikan atau aktivitas yang berpotensi mengganggu sumberdaya karang.

Karena kami datang tujuan riset, kami bisa masuk ke pulau ini. Di sini kami melakukan snorkling. Meski kemampuan snorkling terbatas, tetapi rasa ingin tahu ini makin mendesak saya untuk melihat kehidupan bawah laut. Prasangka saya terhadap bawah laut (terutama di Pulau Tinanja) sedikit meleset. Bila dibandingkan kehidupan bawah laut yang saya lihat di televisi, bagi saya, yang ditampilkan di televisi lebih menarik. Mungkin karena film dokumenter lebih memilih yang indah-indah. Faktanya, di Pulau Tinanja saya lihat terumbu-terumbu yang mati dan patah, walau masih terlihat ikan-ikan karang (ternyata ikan Nemo seperti di film Disney itu, cantik luar biasa), bintang laut, bulu babi. Apakah Zona Inti “sebagus” ini?

Kesenjangan Antar-suku
Cinta Laut meninggalkan Pulau Tinanja dan menyusuri gulungan ombak ke Pulau Tinabo. Kali ini pulau berpenduduk. Dan penduduk yang menghuninya berasal dari Suku Bajau. Nama ini terdengar samar-samar di telinga saya, karena yang saya tahu hanya Suku Bugis yang hidup di wilayah Sulawesi. Suku Bajau dikenal sebagai manusia perahu. Hidup di atas laut, berumahkan perahu. Namun itu yang terjadi pada nenek moyang suku mereka. Kini terjadi pergeseran gaya hidup. Alam mungkin sudah tidak lagi bersahabat sehingga mereka memilih tinggal di daratan. Meski hal ini tidak mengurangi ketergantungan mereka kepada laut.

Suku Bajau tetap orang laut. Suku Bajau yang tinggal di pulau Tinabo adalah “peserta” migrasi musiman dari pulau Rajuni Kecil. Mereka tinggal di Pulau Tinabo pada waktu musim barat untuk mencari ikan dan pada saat musim timur atau hari raya Idul Fitri tiba mereka mudik ke Pulua Rajuni. Wah, ternyata ada juga tradisi mudik di sini.

Saya melihat adanya rasa kekeluargaan yang tinggi pada masyarakat suku ini. Ya memang, suku ini menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Mereka terbiasa makan malam berkumpul bersama walau makanan saat itu hidangannya hanya ala kadarnya.
Keesokan paginya saya dan Tim Cinta Laut melanjutkan perjalanan ke Pulau Rajuni Kecil. Kampung halaman Suku Bajau. Ternyata ada dua suku yang hidup di pulau ini, yaitu Suku Bajau dan Suku Bugis. Saya berkeliling untuk melihat kondisi nyata dua suku yang hidup berdampingan. Terlihat perbedaan mencolok dalam keseharian mereka. Sebagian besar masyarakat Bugis mempunyai kapal untuk mengangkut semen, kayu, pasir, dan lain sebagainya. Sedikit yang menjadi nelayan. Sedangkan hampir seluruh mayarakat Bajau adalah nelayan. Tampak kesenjangan terjadi di sini, rumah-rumah orang Bajau sangatlah sederhana. Hanya terbuat dari bambu, berbentuk panggung, dan beratap daun kelapa. Rumah orang Bugis sudah bersemen dan nampak rapi.

Selepas mengamati kehidupan kedua suku ini di Pulau Rajuni kecil, saya dan teman-teman kembali snorkling di pantai pulau tersebut. Berbeda dengan pulau Tinanja, laut di pulau ini lebih indah, lebih mempesona. Banyak ikan karang berwarna-warni berenang mengelilingi terumbu karang. Tidak banyak terumbu yang rusak, padahal aktivitas di pulau ini lebih banyak. Kenapa ya?

Kegiatan nelayan di Pulau Rajuni sedikit menyorot perhatian saya. Salah satu orang yang berpengaruh di sana berkata adanya pelarangan penggunaan kompresor dan bubu tindis untuk menangkap ikan. Kompresor biasanya digunakan untuk menangkap teripang, tapi nelayan pintar menyalahgunakannya untuk membius ikan-ikan karang. Ya, nelayan melakukan apa saja untuk mendapat ikan. Saya jadi bertanya, apakah masyarakat Rajuni turut serta menyumbang kerusakan terumbu karang kita akibat bom dan bius?
Pulau Jinato lebih berkembang
Pelayaran terakhir Cinta Laut menuju Pulau Jinato. Pulau yang dihuni masyarakat Bugis yang katanya dari Kabupaten Sinjai. Pulau ini lebih berkembang dibanding tiga pulau yang saya kunjungi. Saya melihat beberapa keramba yang mengapung di laut. Keramba ini adalah bentuk usaha para nelayan untuk mendapat uang. Di pulau tersebut transaksi ikan hidup dilakukan. Komoditas pulau tersebut berupa ikan sunu dan teripang menjadi unggulan para masyarakat Jinato.

Cinta Laut sempat mampir ke keramba milik penduduk Jinato. Pemiliknya menuturkan modal usaha mereka peroleh dari pengusaha yang tinggal di Benteng, Selayar. Dan ikan-ikan yang didapat harus dijual kepada orang tersebut untuk diekspor. Terjadi patron-client dalam usaha perikanan di sini.

Saat kami berada di keramba itu, datanglah sebuah kapal yang membawa ikan hidup jenis sunu. Agak lucu bagi saya, di kapal tersebut tidak terdapat jaring, bubu, pancing, atau alat tangkap apapun. Yang terlihat hanyalah sebuah kompresor. Mereka menangkap kerapu dengan apa? Dengan tangan kosong? Mungkinkah dengan bius? Saya meninggalkan keramba itu membawa tanda tanya besar.

Masyarakat Jinato adalah masyarakat Bugis perantauan dari Pulau Sulawesi Selatan, tapi sudah beberapa generasi. Berbeda dengan penduduk Rajuni yang heterogen, disini masyarakatnya cenderung homogen. Pulau ini lebih berkembang, lebih maju dan modern. Dapat dikatakan masyarakat terbuka dengan kemajuan teknologi.

Tanggal 4 September, saat semua anggota tim menikmati makan malam, Cinta Laut berlayar menuju Tana Beru, Bulukumba. Sengaja kami berangkat malam agar tiba di tujuan pada pagi hari. Perjalanan ditempuh selama hampir 12 jam melintasi perairan antara Pulau Selayar dengan Taka Bonerate, antara Pulau Selayar dengan Pulau Bahuluan, dan menyusuri pesisir barat Pulau Selayar. Meski lebih jauh, kami sengaja melewati pesisir barat sebab ombak di pesisir timur sungguh tidak bersahabat.

Seminggu saya lewati mengarungi perairan di bagian selatan Pulau Selayar yang ditaburi pulau-pulau yang indah, Suku Bajau dan Suku Bugis yang ramah. Saya pulang membawa banyak pertanyaan, khususnya tentang praktik penangkapan ikan yang dilakukan para nelayan dan kerusakan terumbu karang. Tapi, saya juga membawa harapan: semoga di laut lainnya di Nusantara, dapat saya temui keindahan dan daya pesona yang sama.

Wisata Bahari di Selayar Perlu Dikembangkan


Potensi wisata bahari tersebar di gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan perlu dikembangkan agar bisa memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan asing maupun domestik.

Pulau Taka Bonerate dan beberapa pulau kecil memiliki keindahan berupa hamparan pasir putih serta terumbu karang yang masih lestari merupakan potensi kepulauan itu yang bisa memikat wisatawan mananegara," kata Ketua Komisi B DPRD Sulsel, M Roem, SH di Makassar, Selasa.

Komisi DPRD Sulsel yang membidangi pariwisata, akhir pekan lalu melakukan kunjungan kerja ke Selayar untuk melihat dari dekat potensi wisata bahari serta areal perkebunan jeruk dan melinjo yang nyaris punah di daerah itu.

Menurut Roem, untuk pengembangan obyek wisata bahari Selayar diperlukan dana sekitar Rp1 miliar buat membangun infrastruktur dan penataan kawasan obyek. Pemandangan alam bawah laut berupa terumbu karang yang dipadu dengan hamparan pasir putih di bibir pantai pulau Taka Bonerate adalah anugerah yang perlu dilestarikan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, sehingga diperlukan penataan kawasan yang baik.

Karena itu, Komisi B DPRD Sulsel mendukung pengembangan kawasan wisata bahari di daerah kepulauan itu untuk dijadikan obyek wiswata andalan Sulsel masa depan. Sebelumnya, Komisi B DPRD Sulsel menyoroti kinerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel akibat merosotnya kunjungan wisatawan asing ke Sulsel sejak beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya obyek wisata yang bisa memikat wisatawan, disamping lemahnya promosi wisata ke mancanegara sehingga kalah bersaing dengan provinsi lain di tanah air.

Selain Selayar, beberapa kabupaten di bagian selatan Sulsel juga memiliki potensi wisata bahari, alam maupun budaya yang menarik namun belum tersentuh secara baik. Kabupaten Bulukumba punya Pantai Bira dan sentra pembuatan perahu phinisi serta pemukiman masyarakat adat Ammatoa Kajang yang hingga saat ini tetap mempertahankan tradisi mereka tanpa tersentuh perkembangan di-era modern saat ini.

Sedangkan Kabupaten Sinjai memiliki wisata budaya, alam dan bahari yang tidak kalah menarik. Di daerah ini terdapat obyek wisata perpaduan budaya, peninggalan sejarah dan alam yang sangat langka Bukit Gojeng, yakni obyek wisata rumah kuno peninggalan sejarah masa lampau yang tetap lestari. Selain itu, Sinjai juga memiliki kawasan hutan bakau (mangrove) Tongke-Tongke yang tumbuh subur membentang sepanjang pesisir barat pantai Teluk Bone yang ditetapkan sebagai hutan bakau penelitian pertama di Indonesia sejak sepuluh tahun silam.

Sementara gugusan sembilan pulau di Kecamatan Pulau Sembilan memiliki keindahan dan daya tarik. Diantara gugusan sembilan pulau tersebut terdapat gunung menjulang tinggi, sedangkan di dalam dasar laut wilayah itu terdapat potensi sumber daya laut gerupa teripang serta kaya terumbu karang yang menjadi habitat berbagai jenis ikan karang dan ikan hias.

Foto Mayat Kasek Korban Pembunuhan



Kini tamat sudah riwayat hidup Salimuddin seorang kasek yang dikenal sangat baik dan berbudi pekerti luhur di kawasan Bissorang. Sayang sekali ia harus menghembuskan nafas terakhirnya dengan tragis. Setelah sekelompok orang diduga telah menghabisi nyawanya dengan cara keji dan biadab.

Pemilik panoramaselayar.blogspot.com


Fadly Syarif : Pemilik panoramaselayar.blogspot.com

Rekaman Polman, Sulawesi Barat



Foto : Arby Syarif bersama empat orang saudaranya masing-masing Fahmy Syarif, Fadly Syarif dan Fuad Syarif. Gambar ini diabadikan sesaat sebelum pelaksanaan pengucapan Ijab kabul pernikahannya dengan Sang Kekasih tambatan hati, Andi Rahma, SH di Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat Pada tanggal, 8 Februari 2009 kemarin.

Catatan Perjalanan Pernikahan Arby Syarif & Andi Rahma, SH


Tarian Panduppai merupakan sebuah kesenian tradisional kebanggan Masyarakat Kabupaten Polman,Provinsi Sulawesi Barat. Pada masa kerajaan tari ini kerap ditampilkan dalam penyambutan tamu-tamu kerajaan atau tamu daerah. Selain juga sering ditampilkan dalam pelaksanaan pesta perkawinan.
Dalam Pesta perkawinan, tarian ini ditampilkan dalam rangka menyambut hadirnya pengantin mempelai pria sesaat sebelum pelaksanaan ijab kabul pernikahan di rumah mempelai wanita.
Selain menampilkan para penari pada prosesi ini, juga hadir sepasang remaja putra dan putri lengkap dengan pakaian pengantin Ala Polman yang dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan pengantin di pelaminan tatkala salah satu dari sang mempelai tiba-tiba jatuh sakit pada saat menyambut tamu-tamu undangan.
Biasanya, tari Panduppai ditampilkan sebanyak dua kali. Yaitu, pada prosesi penyambutan rombongan keluarga mempelai pria dan pada saat kedua mempelai berada di atas pelaminan untuk menyambut hadirnya tamu undangan.

Punahnya Kesenian Tradisional

Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar.

Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.

Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis.

Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.

Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.

Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.

Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya.

Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga. Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria.

Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.

Sejalan berkembangnya teknologi maka berkembang pula jenis mainan anak-anak. Di perkotaan anak-anak lebih banyak bermain di mal-mal. Mereka lebih mengenal permainan-permainan modern seperti timezone, PS, internet, dea-deo dsb. Sedangkan permainan-permainan tradisional seperti kasti, dakon, gundu, gobak sodor, engklek dll mereka tidak pernah tahu. Selain karena lingkungannya cenderung individual (hidup diperumahan) orang tua atau gurunya tidak ada yang mengajarkan. Bagaimana kalau permainan rakyat ini hilang dari Indonesia?

Solusi yang sederhana mungkin tiap-tiap sekolah (SD maupun TK) mengajarkan permainan-permainan tersebut kepada anak didiknya. Mengajarkan disini tidak hanya secara teori tetapi juga harus dipraktekkan. Jadi generasi anak-anak kita tetap mengenal budaya tradisional kita. Apakah takut kalau dikatakan tidak modern? Jangan takut, karena yang modern itu belum tentu semuanya baik. Jangan sampai kejadian reog di Malaysia terulang lagi.
Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii.

Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.

Pengibaran Ula-Ula Simbol Keturunan Ningrat


Pengibaran ula-ula atau umbul-umbul menyerupai manusia merupakan symbol Kebesaran masyarakat Kampung Bajo sebagai Keturunan ningrat

Ma' Tolong Ada'


Ma' Tolong Ada' atau yang kerap diistilahkan dengan acara pangadakan Tradisi Turun Temurun Masyarakat Kampung Bajo Dalam Pelaksanaan Pesta Perkawinan.

Makan Bersama


Suasana Makan Bersama Pada Pesta Perkawinan Kampung Bajo

Foto-Foto Adat Kampung Bajo


Foto : Atraksi Gendang Sanro Mengiringi Pengibaran Bendera Lolo Bajo, Kabupaten Kepulauan Selayar.

Pengibaran Bendera Lolo bajo


Ada bemacam-macam simbol ritual yang dipakai secara turun-temurun oleh masyarakat Bajo yang tersebar di Rajuni, Latondu, Rajuni Besar, Tarupa, Pasitallu, Kayuadi, dan pulau lainnya. Simbol-simbol ini menandakan ‘kelas’ dari keturunan orang Bajo. Keturunan ningrat (Lolo Bajo) selain mengibarkan bendera Lolo Bajo, juga akan menggerek ula-ula (sejenis umbul-umbul) yang berbentuk menyerupai manusia (orang-orangan) dengan kepala atau tanpa kepala.

Bersamaan dengan pengibaran bendera Lolo Bajo di pihak pengantin perempuan, di kediaman pengantin pria dikibarkan pula bendera ula-ula dan pemasangan campaniga. Biasanya pengibaran ula-ula dilakukan setelah rombongan kembali dari mengantar belanja, karena pengibaran ini juga membutuhkan pelibatan pukulan gendang sanro.

Konon jika ada prosesi yang salah dalam pengibaran bendera Lolo Bajo dan ula-ula, maka biasanya akan ada orang dari pihak keluarga atau pengunjung yang kesurupan. Kejadian ini akan berakhir jika prosesi diulangi dan dibetulkan tata caranya. Bendera Lolo Bajo dan ula-ula dikibarkan dengan seutas tali nilon pada setangkai bambu. Simbol ini akan terpasang selama pesta dan prosesi pesta perkawinan berlangsung, biasanya hingga 10 hari.

Gendang sanro yang mengiringi pengibaran itu dibawakan oleh dua pemukul gendang, seorang pemukul gong dan seorang lagi memukul sisi gong dengan setangkai kayu. Biasanya iringan gendang ini juga disertai pukulan gong-gong kecil, namun alat ini sudah tidak ditemukan lagi.
Campaniga yang dipasang pada kelambu ranjang pengantin juga harus dilengkapi dengan beberapa peralatan, seperti lilin merah dan dupa. Hampir tak ada lagi tetua adat yang berperan khusus untuk itu saat ini. Peran ini kemudian diambilalih oleh orang-orang tua yang disepakati oleh keluarga pengantin, dan orang-orang dari pihak keluarga yang merupakan keturunan Lolo Bajo.

Setiap harinya, mulai dari persiapan hingga akhir acara, pihak keluarga pengantin akan menjamu makan setiap tamu yang datang. Makan pagi, siang dan malam hari, juga dengan penganan kue serta minuman pada pagi dan sore hari. Tentunya prosesi ini mahal ongkosnya, namun lebih menjadi simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong masyarakat Bajo Taka Bonerate.

Dalam pesta-pesta orang Bajo, biasanya ada menu khusus, yaitu daging ikan lumba-lumba. Beberapa warga setempat mengaku masih bisa menangkap lumba-lumba dengan tombak. Juga ada daging kima yang dijadikan sayur santan atau kari bersama nangka muda dan kol. Namun saat ini sudah kurang dilakukan, mengingat status biota laut tersebut yang dilindungi (endangered species).
Salah satu rangkaian acara perkawinan yang kini sudah sangat jarang dilakukan adalah pertunjukan pencak silat (manca’) dengan tangan kosong atau dengan badik dan keris. Namun menurut pengakuan salah seorang pesilat, pemuda Bajo sekarang ini sudah kurang berminat terhadap manca’, lebih sibuk mencari uang dengan berlayar dan menangkap hasil laut. Sampai sekitar tahun 1980-an, acara petunjukan manca’ masih biasa dilakukan. Dengan iringan gendang pamanca’, para pesilat konon sering pula menampilkan pertunjukan mistis, seperti unjuk kekebalan terhadap senjata tajam.
Namun demikian, orang Bajo di Pulau Rajuni yang umumnya memeluk agama Islam dan mengikuti tasawuf yang diajarkan mendiang Imam Rajuni KH Muhammad Said (wafat tahun 1945), memang belum melupakan tradisi leluhurnya. Setidaknya, hal itu tergambar dalam penyelenggaraan tata-cara pesta perkawinan.

Adat Tradisi Perkawinan Ala Bajo



Orang-orang Bajo di Pulau Rajuni, dan pulau-pulau di kawasan Taka Bonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, punya tradisi unik dalam melaksanakan pesta perkawinan. Mereka mengibarkan bendera, tergantung pada kelas sosial seseorang. Citizen reporter Ivan Firdaus yang mengunjungi pulau terpencil itu menuliskan kesan-kesannya.(p!)

Serombongan lelaki yang memanggul miniatur rumah panggung yang terbuat dari bambu sudah tampak di depan halaman rumah. Siang itu, dengan diiringi gadis-gadis di barisan belakang, mereka sedang mengantarkan erang-erang (secara harafiah bisa diartikan sebagai barang bawaan) dari calon pengantin pria kepada pengantin wanitanya. Semilir angin dan terik matahari yang menerpa pulau seolah-olah “bersekongkol” dengan kegembiraan anak-anak yang riuh, menyaksikan pesta yang segera menjadi peristiwa paling penting di Pulau Rajuni hari itu.

Ini adalah perkawinan sepasang pengantin Bajo (Bagai Sama’, To Sama) di salah satu pulau di kawasan pulau-pulau Taka Bonerate, Kabupaten Selayar. Sebagaimana layaknya kehidupan pulau, pesta perkawinan adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu, bukan hanya oleh dua kekasih dan keluarganya, tapi juga oleh seluruh penduduk pulau.
Orang Bajo yang melaksanakan pesta perkawinan atau pesta lainnya seperti sunatan dan syukuran, senantiasa melaksanakan beberapa ritual adat. Jika seseorang mempunyai darah Bajo, ritual-ritual itu malah menjadi keharusan dalam setiap pelaksanaan pesta.

Acara perkawinan ini didahului dengan a’bantang (ritual tolak bala dan pembersihan/pemberkatan) bagi calon pengantin. Lalu diadakan pemasangan kelambu dan campaniga (hiasan tempat tidur pengantin), pengibaran bendera Lolo Bajo dan Ula-Ula, serta pemukulan gandah (gendang). Ritual appacci dan pemakaian lamming (hiasan rumah pengantin) yang diadopsi dari tradisi Bugis-Makassar serta barasanji berupa lagu-lagu pujian bagi Nabi Muhammad SAW juga melengkapi ritual hari itu. Tentu saja ‘budaya modern’ seperti hiburan musik elekton tidak pula ketinggalan.

Khusus pengibaran bendera Lolo Bajo yang berwarna kuning, bergambar pedang dan bertuliskan huruf Arab, dilakukan setelah pihak pengantin wanita menerima erang-erang yang dibawa oleh pihak pengantin pria. Pengibaran Lolo Bajo ini diiringi oleh lemparan beras putih oleh tetua adat (biasanya perempuan) dan alunan irama gendang (gandah sanro, yang dalam tradisi Makassar disebut sebagai Tunrung Pa’bballe).

Karaeng Kacamata dari Gantarang yang tak pernah Gentar!




Ada cerita mirip kisah Nabi Musa dalam kitab suci, kali ini kejadiannya di suatu siang di bulan Agustus 1916 di Afdeling Sinjai. Seorang Hulppest Commis pribumi tergerak bangkit dari meja kerjanya. Dia mendengar sayup2 jeritan tertahan dalam bahasa bugis diiringi suara kibasan tongkat yang miris. Keningnya sedikit terlipat, kacamata hitam tebal yang membingkai kedua matanya kemudian diletakkan diatas buku dinasnya. Bergegas ia keluar dari kantor contorleur itu. Di halaman depan, disaksikannya satu kejadian yang meledakkan amarahnya. Seorang ambtenar Belanda memukuli seorang bumiputera dengan tongkat. Berkali-kali, hingga darah mengucur dari badan kurus itu. Darahnya seketika mendidih, Hulppest Commis pribumi itu bergerak. Tubuh ringkihnya sebenarnya tidaklah sekekar si ambtenar Belanda, namun dia tak gentar. Tak ada rasa takut dalam dadanya. Si ambtenar Belanda dihujaninya dengan pukulan sampai babak belur dan lari.

Namun tidak seperti kisah nabi Musa di kitab suci, sang Hulppest Commis pribumi tidak lantas kabur dari tanah airnya. Dia memilih tetap tinggal dan siap menerima konsekuensi dari tindakannya yang melanggar etika saat itu. Melawan, apalagi memukuli warga Belanda yang dianggap warga kelas satu adalah kesalahan besar di zaman kolonial itu, apapun alasannya. Kejadian selanjutnya bisa ditebak, sang Hulppest Commis pribumi kemudian didera hukuman administratif; pangkat diturunkan menjadi Agent Welsetboedel Kamer (pegawai rendahan), gaji dipotong hingga tinggal 30%. Dia menerima dengan tenang, dan terbersit rasa puas dalam hatinya. Harga dirinya membela kaumnya sudah ditegakkan, dan itu jauh lebih penting daripada pangkat dan gaji. Nama si Hulppest Commis pribumi berusia 22 tahun itu, Andi Sultan Daeng Raja, putra dari Passari Petta Tanra - Karaeng Gantarang Bulukumba saat itu.

Gantarang, tempat lahir Andi Sultan Daeng Raja, sejak zaman dulu terkenal sebgai penghasil beras utama di Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa Tallo ketika masa jayanya sangat menggantungkan pasokan pangannya pada daerah ini. Setelah kemenangan VOC yang didukung oleh Bone dalam Perang Makassar di pertengahan abad 17, daerah ini sempat diperebutkan antara VOC dan Bone sebagai basis logistik. Tanahnya sangat subur, terhampar seluas 215 km2 dari kaki pegunungan Bangkeng bukit yang dikitari oleh sungai Tangka di utara hingga ke selatan yang bermuara di laut flores. Sungai Tangka yang tak pernah kering itu kemudian dijadikan sumber utama pengairan yang menghidupi persawahan di daerah itu. Secara geopolitik, distrik gantarang adalah wilayah Gowa-Tallo sejak lampau berdasarkan perjanjian Caleppa tahun 1625, penguasanya pun bergelar karaeng, sebuah gelar yang diadaptasi dari kerajaan Gowa-Tallo. Namun sebahagian besar penduduk Gantarang justru menggunakan bahasa bugis sebagai bahasa pengantarnya. Bagi lidah bugis, Gantarang biasanya dituturkan sebagai Gattareng.

Ketika tumbuh sebagai remaja di daerah itu, Andi Sultan Daeng Raja yang lahir di Saoraja Gantarang pada 20 Mei 1894, mendapati kenyataan yang kontras dengan cerita leluhurnya tentang Gantarang yang subur, daerah ini dimatanya justru teramat terbelakang, pertanian tidak terurus dan masyarakat petani disana miskin dan tak mampu mengelola sawah dengan baik. Penguasa yang memerintah kala itu pun terkesan abai mengurusi warganya.

Pantai Bone Sialla


Bone Sialla dan sekitarnya dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda empat selama 40 menit dari Kota Benteng. Sangat menarik untuk kegiatan Snorkeling. Dan perahu Katamaran.

Mesjid Tua Gantarang



Gantarang Lalang Bata dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat & roda dua sampai di kawasan Puncak. Dan dari Puncak pengunjung harus berjalan kaki sepanjang 2 ½ km, dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam dari Kota Benteng kea rah Timur dengan jarak + 12 km. di lokasi ini terdapat sebuah Masjid tua yang dibangun pada Abad XVI atau tahun 1605 bertepatan pertama masuknya Agama Islam di Kabupaten Selayar dan inilah yang diajdikan dasar Peringatan Hari Jadi Selayar yang diperingati pada setiap tanggal 29 November.

Tari PAKARENA GANTARANG



Tari "Pakarena Gantarang", merupakan tarian khas Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. Tarian ini berasal dari sebuah perkampungan unik bernama Gantarang Lalang Bata, dimana dapat ditemukan Mesjid tua yang dibangun pada tahun 1605.Tidak diketahui pasti, kapan Tari "Pakarena Gantarang" ini diciptakan. Yang disimpulkan saat ini, adalah, tarian ini pertama kali ditampilkan pada awal abad ke 17, dimana kehadirannya dikaitkan dengan kemunculan Tumanurung. Tumanurung dipercaya merupakan bidadari yang turun dari langit untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada manusia di bumi. Petunjuk dengan simbol-simbol berupa gerakan kemudian dikenal sebagai Tari "Pakarena Gantarang". Kisah ini kembali ke zaman sebelum Islam masuk ke Kabupaten Selayar.Tari "Pakarena Gantarang" mulai populer di Gantarang pada tahun 1603, ketika ditampilkan pada saat penobatan Raja Pangali Patta Raja. Penari Tari Pakarena Gantarang terdiri dari wanita yang umumnya 4 orang. Gerakannya menyiratkan simbol dengan nilai artistik tinggi, yang antara lain mengungkapkan undangan / panggilan, serta penolakan atau penerimaan Raja terhadap aspirasi rakyatnya.Alat musik pengiring dari Tari Pakarena Gantarang adalah, gendang, kannong-kannong, gong, kancing dan pui-pui. Sedangkan kostum dari penarinya adalah, baju pahang (tenunan tangan), lipa' sa'be (sarung sutra khas Sulawesi Selatan), dan perhiasan-perhiasan khas Kabupaten Selayar.

Menelusuri Bangunan Purbakala Pulau Tanadoang



Di Kota Benteng dapat disaksikan bangunan purbakala peninggalan Belanda yang saat ini berfungsi sebagai Rumah Jabatan Bupati Selayar dan Rutan Selayar.

Mesium Gong Nekara


Gong adalah peninggalan sejarah yang menurut data arkheologi berasal dari pusat kerajaan perunggu pada Abad II SM di bawah ke Selayar oleh WE Tenri Dio, anak kedua dari Sawerigading dan ditemukan pada tahun 1868. Versi lain mengatakan bahwa Nekara dimaksud berasal dan dibawah dari Thailand. Pada masa lalu gong ini merupakan simbol pemerintahan dan alat komando. Objek ini dapat diakses selama 5 menit dengan jarak tempuh 4 km ari Kota Benteng.

Jangkar Raksasa Padang


Jangkar adalah peninggalan sejarah milik seorang saudagar cina pada Abad XVIIyang masuk ke Dusun Padang dengan armada kapalnya yang besar. Dusun Padang saat ini merupakan pemukiman nelayan yang dahulu berfungsi sebagai pelabuhan berskala nasional dengan zaman keemasan pada Abad XVII. Dapat diakses dengan mudah dari Kota Benteng dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua.

Desa Wisata


Sekitar 4 km dari Bone Sialla terdapat Desa Wisata Jammeng. Terbentang Laut yang menarik untuk kegiatan Diving, juga dapat menyaksikan sunrise di pagi hari dan air terjun bertingkat tujuh. Bagi wisatawan yang ingin bermalam tersedia fasilitas home stay.

Potensi Wisata Bahari Selayar


Panati Bone Tapalang
Pantai Bone Tapalang dan sekitarnya berpasir putih, dikelilingi hamparan terumbu karang yang sangat indah. Pantai ini dapat diakses dari dermaga Ferry Pattumbukang atau dermaga Appatanah dengan menggunakan perahu tradisional jolloro selama + 20 menit. Di lokasi ini sudah dibangun Bungalow oleh PT. SCHULTHEIS DIVE RESORT.

Melirik Taman Nasional Taka Bonerate


Beatiful Waterfall, Isn't It?
I've always loved this waterfall! You can see ones just like it near my house, just a couple of miles away
Taman laut Nasional taka Bonerate memiliki karang atol seluas 220.00 ha yang merupakan karang atol terbesar ketiga di dunia setelah karang atol Kwajifein di Kepulauan Marshal dan Atol Suvadiva di Maldiva. Kawasan ini dikenal memiliki sejuta keanekaragaman biota laut yang tinggi dan merupakan habitat bagi beberapa spesies satwa laut yang langka dan menarik bagi wisatawan, terdiri dari 21 pulau dan 7 di antaranya merupakan pulau berpenghuni.
Taman Laut Nasional Taka Bonerate dapat di akses dari Pelabuhan Ferry Pattumbukang ke Pulau Tinabo atau pulau lainnya dengan menggunakan kapal motor selama ¬+ 3 jam.
Fasilitas yang tersedia termasuk penginapan masih sangat terbatas baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Meskipun harus ditempuh dengan berperahu selama 9 jam dari pelabuhan Benteng, Selayar, tetapi semua kepenatan akan berubah setelah sinar keindahan dari bawah laut Takabonerate terpancar. Sungguh laut dengan sejuta pesona

Sepenggal Catatan Sejarah Kerajaan Makassar





Kerajaan makassar yang merupakan gabungan dari kerajaan gowa dan tallo terletak di wilayah sulawesi selatan.

Penguasa kerajaan Makassar

Sultan Alauddin

Pada abad ke -17’agama islam mulai berkembang di sulawesi selatan.masuknya agama islam mendapat sambutan hangat dari masyarakat kerajaan makassar Bahkan raja makkassar kemudian juga memeluk agama islam .raja yang pertama kali memeluk agama islam adalah sultan alauddin setelah ia wafat keberadaan dan perkembangan kerajaan makkassar tidak dapat di ketahui dengan jelas .sultan alauddin memerintah dari tahun 1591 -1638 .berita mengenai perkembangan kerajaan makassar baru didapat setelah Sultan Hasaunddin naik tahta.

Sultan Hasanudin
Pada masa pemerintahannya Siltan Hasanuddin, kerajaan Makassar mencapai masa kejayaannya Sultan Hasanuddin melakukan perluasan wilayah keseluruh Sulawesi Selatan. Sultan Hasanuddin bercita-cita untuk menguasai jalur pelayaran dan perdagangan Nusantara, yaitu jalur perdagangan yang menghubungkan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Kerajaan Makassar mengajak para pedagang untuk singga dan berdagang di pelabuhannya hal itu tidak disukai oleh pihak Belanda. Yang memiliki wilayah kekuasaan di kepulauan Maluku, keberadaan Kerajaan Makassar menjadi penghalang bagi Belanda untuk melakukan hubungan antara Ambon dan Batavia. Perkembangan selanjutnya mulai terjadi peran kecil-kecilan antara pelaut Makassar dan Belanda, Sultan Hasanuddin kemudian mengambil langkah untuk menghancurkan kedudukan pasukan Belanda di Kepulauan Maluku. Karena keberaniannya Sultan Hasanuddin dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Serangan pertama dipimpin oleh Cornelis Sperman, serangan ini mengalami kegagalan yang menyebabkan pihak belanda mencari cara lain untuk mengalahkan kerajaan Makassar. Belanda menjalin hubungan dengan penguasa kerajaan Bone yang bernama Aruk Palakka, karena menghadapi dua musuh sekaligus maka pasukan kerajaan Makassar terdesak dan akhirnya menyerah, pihak belanda kemudian memaksa kerajaan Makassar untuk menandatangani perjanjian Bongayya. Pada tahun 1667 isi dari perjanjian Bongayya antara lain :

Pihak Belanda memperoleh hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Kerajaan Makassar.
Belanda dapat mendirikan Benteng di pusat Kerajaan Makassar, Benteng itu diberi nama Benteng Rotterdam.
Kerajaan Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya, seperti Bone dan pulau-pulau diluar wilayah Makassar.
Aruk palakka diakui sebagai raja Bone.


Sultan Mappasomba
Setelah Sultan Hasanuddin turun dari tahta ia kemudian digantikan oleh Putranya yang bernama Mappasomba. Sultan Hasanuddin sangant berharap agar Mappasomba dapat bekerja sama dengan pihak Belanda. Tujuannya untuk kerajaan Makassar dapat bertahan lama, namun yang diharapkan itu tidak sesuai dengan keinginannya. Perlawanan Sultan Mappasomba akhirnya berhasil dipadamkan oleh Belanda, namun Sultan Mappasomba tidak diketahui nasibnya. Sejak saat itu kerajaan Makassar berada di bawah cengkraman Belanda.

Kehidupan ekonomi di Kerajaan Makassar

Makassar yang berkembang dengan pelabuhan Internasional ;banyak dikunjungi Portugis ;inggris; denmark; kedatangannya adalah untuk berdagang pedagang makassar dalam mengarungi lautan menggunakan kapal pinisi dan lambo untuk mengangkut rempah - rempah dari keppulauan malauku ke pulau jawa pihak belanda yang berkuasa atas monopoli perdagangan rempah-rempah di maluku menganggap pedagang makassar melakukan perdagangan gelap guna mengatur pelayaran dan perniaga di eilayah kerajaan makkassar ;disusun hu kum perniagan yang disebut dengan ade allopi loping bicaranna pabblu’e naskah itu ditulis oleh amanna gappa diatas daun lontar

Kehidupan sosial di kerajaan Makassar
Sejak abad ke-17 agama Islam mulai berkembang di Daerah Sulawesi Selatan. Mereka berperang teguh pada keyakinan bahwa Tuhan menciptakan lautan untuk semua hambanya, karena itu mereka menentang keras penguasaan laut secara sewenag-wenag oleh Belanda Makassar dikenal sebagai orang yang dinamis dan gemar melaut, mereka memiliki sifat yang terbuka dan gemar berterus terang, sifat semacam ini memang menjadi cirri-ciri dari masyarakat pesisir.

Kebudayaan Makassar dipengaruhi oleh Agama Islam.
Peninggalan kebudayaan Islam yang terdapat di Makassar adalah Mesjid Katangka, yang di bangun pada abad ke-17 selain itu terdapat pula makam Islam kuno di daerah Sulawesi Selatan hasil kebudayaan Makassar hingga kini adalah kapal Finisi. Kapal Finisi adalah hasil karya masyarakat Makassar masih dianggap sebagai sarana pengangkutan yang tangguh di lautan namun pembuatan kapal tersebut pada saat ini berdasarkan pesanan, baik dari dalam Negeri maupun mancanegara.


.

SMKN 1 Benteng Selayar Terapkan Praktek Pembuatan Proposal Kewirausahaan




Mungkin hampir dalam setiap hembusan nafas kehidupan kita kerap kali menjumpai berbagai jenis kue hasil produksi atau olahan ibu rumah tangga. Dalam kaitan itu, belum lama ini guru kewirausahan SMK NEGERI I BENTENG Selayar, telah memberikan kesempatan kepada siswa kelas III di sekolah tersebut untuk dapat mempraktekkan tata cara pembuatan proposal bantuan, bertemakan Pengolahan Industri Kue Bolu Gulung.

Kegiatan ini sendiri kata guru bersangkutan diharapkan dapat menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan siswa, setelah mereka menamatkan pendidikannya di bangku SMKN 1 Benteng Selayar. Plus diharapkan pula akan dapat mengurangi tingkat kesulitan para pedagang lokal di daerah ini, khususnya bagi mereka yang bergerak pada industri pengolahan produk makanan dan kue-kue tradisional sejenis Bolu gulung.

Dikatakannya, ada beberapa faktor pemikiran yang melatar belakangi diangkatnya kue bolu gulung sebagai thema dalam praktek pembuatan proposal kewirausahaan di lingkungan SMK Negeri 1 Benteng antara lain : faktor keunggulan dalam pembuatan kue bulu gulung. Dimana proses pembuatannya tergolong praktis,. tanpa harus mengeluarkan banyak biaya untuk menghasilkan kue yang aroma dan rasanya enak pada saat dikonsumsi.

Disamping, kegiatan ini juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada para siswa untuk dapat memahami tata cara pembuatan kue bolu gulung itu sendiri.

Praktek ini sendiri menurutnya, akan menjadi penunjang tersendiri dalam pemberian penilaian oleh guru kepada siswa.

Sekilas Gambaran Selayar



Pulau Selayar adalah salah satu Kabupaten diantara 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi-Selatan. Terletak di ujung selatan Propinsi Sulawesi-Selatan. Dikelilingi oleh laut Flores di sebelah timur dan selatan. Selat Makassar dan laut Flore di sebelah barat dan Teluk Bone di sebelah utara.
Sebagai Kabupaten Kepulauan, Selayar memiliki wilayah daratan seluas 1.188,28 km2 (5,23%) wilayah laut + 21.136,41 km2 (94, 68%), jumlah pulau-pulau besar dan kecil sebanyak + 126 buah. Selayar memiliki potensi wisata bahari berkualitas kelas dunia. Salah satu diantaranya potensi wisata bahari andalan nasional yaitu, kawasan Taman Laut Nasional Taka Bonerate.
Kawasan ini merupakan karang atoll terbesar ketiga setelah Kwajifein di kepulauan Marshal, dan atoll Suvadiva di Maidive.
Pantai timur daratan Selayar juga memiliki potensi wisata bahari berkualitas kelas dunia dan sejak beberapa tahun lalu sudah mulai dikembangkan oleh Pemkab Selayar bekerjasama Investor dari Jerman.
Pantai Barat daratan Selayar, khususnya pantai Baloiya sedang dikembangkan. Melalui pengelolaan investor dari luar Selayar, yang kini tengah berupaya membangun sarana restoran dengan sajian menu bernuansa sari laut. Selain memang, Kabupaten Kepulauan Selayar juga ditunjang dengan keberadaan potensi wisata bahari, potensi wisata alam, panorama pegunungan menghijau dan obyek wisata budaya dengan dukungan obyek wisata seni budaya tradisional daerah yang selama ini diakui memiliki keuinkan dan daya tarik tersendiri.
Secara umum Kabupaten Kepulauan Selayar, memiliki sarana akomodasi dan restoran yang cukup baik dan memadai. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Demikian pula halnya, untuk sarana akses transportasi yang kini ditunjang dengan ketersediaan akses pelayaran laut dengan menggunakan ferry dan jasa penerbangan udara melalui perbaikan kualitas pelayanan.

Selayar Island Resort


Cozy resort with 2 private Beaches, 15.000 m2 garden / park, Traveler-room (similar Bambo Village) Breakfast and Fan, all other prices with Breakfast and Dinner buffet.
Beautiful ocean front on all bedroom Villas. Beach Bar with amazing sunset, professional Dive center, Nitrox, New: garden restaurant

Selayang Pandang Selayar


Saat ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Selayar terus berupaya mengembangkan sejumlah titik lokasi potensi wisata bahari. Dari sekian banyak potensi yang terdapat di daerah ini, Dinas terkait pun telah menetapkan kawasan Potensi Unggulan untuk sektor Diving, antara lain : Taman Nasional Laut Taka Bonerate, Pantai Timur Pulau Selayar, Pantai Barat Pulau Selayar dan Kawasan Taka Lambena.

Disamping juga terdapat sejumlah destinasi pendukung lain, seperti : Pantai (teluk dan pasir putih) sunrise, sunset, panorama alam, pegunungan dan air terjun. Termasuk didalamnya, obyek wisata budaya berupa kesenian tradisional daerah yang dibagi atas : tari pakarena batt-batti, rambang-rambang, a'dinging-dinging, & dide') Ditambah dengan dukungan situs sejarah/prasejarah seperti : benda cagar budaya berupa : gong nekara, jangkar raksasa,kapal karam, mesjid tua gantarang, pemukiman tradisional/khas kampung Bitombang, dan perkampungan nelayan padang.
Dalam rangka pengembangan potensi wisata daerah, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar belakangan,terus menggalakkan kegiatan pembangunan sarana akomodasi pariwisata lainnya. Seperti : Selayar Island Resort, Selayar Dive Resort, Wisma Tanadoang, Hotel Syafira, Jammeng Resort, Selayar Beach Hotel, Matalalang Cottage, Pondok Bonerate, Hotel Mustika, Hotel Berlian, Pondok Al Mahzan, Hotel Berlian 2, dan Hotel Harmita.
Pada Sektor transportasi Kabupaten Kepulauan Selayar dapat diakses dengan menggunakan beberapa sarana transportasi alternatif. secara reguler Selayar dapat diakses dengan menggunakan bus AKDP melalui Terminal Mallengkery pada setiap jam 08.00 sampai jam 09.00 pagi.
Dalam perjalanan menuju Ke Kabupaten Kepulauan Selayar, pengunjung akan di ninabobokkan dengan indahnya panorama alam Kabupaten Gowa, Takalar, Je'neponto, Bantaeng, dan Bulukumba.
Dari Kabupaten Kepulauan Bulukumba, perjalanan akan dilanjutkan dengan pelayaran melalui Pelabuhan Bira Bulukumba dengan menggunakan kapal ferry menuju Pelabuhan Pamatata, Kabupaten Kepulauan Selayar dengan lama perjalanan 90 menit
Dari Pelabuhan Pamatata, perjalanan akan berlanjut menuju Kota Benteng dengan lama perjalanan 60 menit.
Selain itu, Kabupaten Kepulauan Selayar kini juga telah dapat diakses melalui pemanfaatan jasa penerbangan udara, dari Bandar Udara Hasanuddin Kabupaten Maros, menuju Bandar Udara H. Aroeppala, Padang, Kabupaten Kepulauan Selayar selama 45 menit.