Laman

Senin, 06 April 2009

Pengibaran Bendera Lolo bajo


Ada bemacam-macam simbol ritual yang dipakai secara turun-temurun oleh masyarakat Bajo yang tersebar di Rajuni, Latondu, Rajuni Besar, Tarupa, Pasitallu, Kayuadi, dan pulau lainnya. Simbol-simbol ini menandakan ‘kelas’ dari keturunan orang Bajo. Keturunan ningrat (Lolo Bajo) selain mengibarkan bendera Lolo Bajo, juga akan menggerek ula-ula (sejenis umbul-umbul) yang berbentuk menyerupai manusia (orang-orangan) dengan kepala atau tanpa kepala.

Bersamaan dengan pengibaran bendera Lolo Bajo di pihak pengantin perempuan, di kediaman pengantin pria dikibarkan pula bendera ula-ula dan pemasangan campaniga. Biasanya pengibaran ula-ula dilakukan setelah rombongan kembali dari mengantar belanja, karena pengibaran ini juga membutuhkan pelibatan pukulan gendang sanro.

Konon jika ada prosesi yang salah dalam pengibaran bendera Lolo Bajo dan ula-ula, maka biasanya akan ada orang dari pihak keluarga atau pengunjung yang kesurupan. Kejadian ini akan berakhir jika prosesi diulangi dan dibetulkan tata caranya. Bendera Lolo Bajo dan ula-ula dikibarkan dengan seutas tali nilon pada setangkai bambu. Simbol ini akan terpasang selama pesta dan prosesi pesta perkawinan berlangsung, biasanya hingga 10 hari.

Gendang sanro yang mengiringi pengibaran itu dibawakan oleh dua pemukul gendang, seorang pemukul gong dan seorang lagi memukul sisi gong dengan setangkai kayu. Biasanya iringan gendang ini juga disertai pukulan gong-gong kecil, namun alat ini sudah tidak ditemukan lagi.
Campaniga yang dipasang pada kelambu ranjang pengantin juga harus dilengkapi dengan beberapa peralatan, seperti lilin merah dan dupa. Hampir tak ada lagi tetua adat yang berperan khusus untuk itu saat ini. Peran ini kemudian diambilalih oleh orang-orang tua yang disepakati oleh keluarga pengantin, dan orang-orang dari pihak keluarga yang merupakan keturunan Lolo Bajo.

Setiap harinya, mulai dari persiapan hingga akhir acara, pihak keluarga pengantin akan menjamu makan setiap tamu yang datang. Makan pagi, siang dan malam hari, juga dengan penganan kue serta minuman pada pagi dan sore hari. Tentunya prosesi ini mahal ongkosnya, namun lebih menjadi simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong masyarakat Bajo Taka Bonerate.

Dalam pesta-pesta orang Bajo, biasanya ada menu khusus, yaitu daging ikan lumba-lumba. Beberapa warga setempat mengaku masih bisa menangkap lumba-lumba dengan tombak. Juga ada daging kima yang dijadikan sayur santan atau kari bersama nangka muda dan kol. Namun saat ini sudah kurang dilakukan, mengingat status biota laut tersebut yang dilindungi (endangered species).
Salah satu rangkaian acara perkawinan yang kini sudah sangat jarang dilakukan adalah pertunjukan pencak silat (manca’) dengan tangan kosong atau dengan badik dan keris. Namun menurut pengakuan salah seorang pesilat, pemuda Bajo sekarang ini sudah kurang berminat terhadap manca’, lebih sibuk mencari uang dengan berlayar dan menangkap hasil laut. Sampai sekitar tahun 1980-an, acara petunjukan manca’ masih biasa dilakukan. Dengan iringan gendang pamanca’, para pesilat konon sering pula menampilkan pertunjukan mistis, seperti unjuk kekebalan terhadap senjata tajam.
Namun demikian, orang Bajo di Pulau Rajuni yang umumnya memeluk agama Islam dan mengikuti tasawuf yang diajarkan mendiang Imam Rajuni KH Muhammad Said (wafat tahun 1945), memang belum melupakan tradisi leluhurnya. Setidaknya, hal itu tergambar dalam penyelenggaraan tata-cara pesta perkawinan.

Tidak ada komentar: