Laman

Senin, 06 April 2009

Bersama “Cinta Laut” Berlayar ke Selayar


Bagaimanakah rasanya berlayar dengan perahu Pinisi yang kesohor itu? Citizen reporter Rezka Larasati, mahasiswa UGM Yogyakarta yang ikut dalam ekspedisi pelayaran ke Kepulauan Taka Bonerate, Selayar dengan perahu Pinisi membagi pengalamannya berikut ini. Sebagai “orang darat” yang menghabiskan hari-harinya di laut dan di pulau-pulau kecil, ia pulang membawa banyak pengalaman sekaligus banyak pertanyaan. Mari kita simak catatan perjalanannya. (p!)

Saya tak pernah menyangka dapat naik kapal Pinisi, meski itu hanya replika. Kapal bernama Cinta Laut itulah yang membawa saya mengarungi Laut Flores, menempuh jalur Tana Beru - Benteng (Pulau Selayar) – Kepulauan Taka Bonerate. Ini pengalaman luar biasa.Bukan apa-apa, saya seorang perempuan, asal Jakarta, dan kuliah di UGM Yogyakarta. Latar belakang saya amat jauh dari pusat kebudayaan bahari Sulawesi Selatan.

Hati ini terasa gusar membayangkan ombak yang menggoyang perahu. Tapi, kegusaran ini dikalahkan oleh rasa penasaran saya terhadap laut yang katanya menyimpan keindahan yang luar biasa.

Di akhir bulan Agustus hingga awal September, saya ikut dalam kegiatan “Development of a Cultural Exchange Program Through Sailing Experience and Wooden Boatbuilding Technology in Sulawesi, Indonesia”, berlayar dengan kapal riset “Cinta Laut” milik Lembaga Perahu, organisasi yang dibentuk Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Universitas Ehime, Jepang untuk memfasilitasi riset-riset budaya maritim di Sulawesi.

Namun, sebelum bertolak ke laut, kami berkunjung ke tempat pembuatan Pinisi di Tana Beru, Kabupaten Bulukumba, SulSel. Tana Beru merupakan tempat pembuatan perahu kayu tradisional terbesar di dunia. Selama dua hari, 28-29 Agustus 2007, saya dan teman-teman yang berasal dari Universitas Gorontalo, Universitas Hasanuddin, Universitas Ehime Jepang dan Universitas Asia Pasifik, Jepang mengamati teknik pembuatan perahu di Tana Beru.

Nara sumber utama kami adalah Haji Jafar, panrita lopi (ahli perahu) yang membuat kapal “Cinta Laut”. Menurut Haji Jafar, tidak semua pengrajin kapal mampu membuat kapal yang berkualitas. Hanya orang-orang yang mendapat barakka’ (berkah) dari Allah yang mampu membuatnya. Keyakinan terhadap barakka’ tersebut yang mampu memotivasi untuk membuat kapal yang rapi dan berkualitas. Keahlian tersebut kemudian diwariskan kepada anak cucu mereka demi keberlangsungan pembuatan perahun, utamanya perahu layar motor, yang sudah mengandalkan mesin sebagai tenaga pendorong.

Dari Benteng ke Bahuluan
Pada tanggal 30 Agustus 2007, pinisi Cinta Laut meninggalkan Tana Beru, menuju Benteng, ibukota Kabupaten Selayar. Pelayaran ini lumayan lama untuk orang darat seperti saya. Kami menempuhnya dalam waktu lebih tiga jam.

Tiba di pelabuhan Benteng, Selayar, saya melihat kapal-kapal berlabuh. Kebanyakan kapal barang yang memuat kebutuhan pokok yang didatangkan dari Makassar. Beberapa kapal di antaranya mengangkut kopra dan cengkeh, komoditas utama pulau ini. Di sela-sela kapal barang, ada juga kapal yang mengangkut banyak orang. Menurut penjelasan Osozawa, dosen Universitas Ehime yang mengkoordinir ekspedisi ini, mereka itu adalah orang-orang yang datang dari pulau lain di kawasan Laut Flores. Mereka rutin datang ke Benteng untuk berdagang atau untuk keperluan lain.

Saya juga sempat berkunjung ke Pasar Benteng. Tak berbeda dengan pasar manapun di Indonesia yang penuh dengan dinamika. Tapi ada yang khas di Pasar Benteng. Di sini banyak dijual buah kenari, juga banyak cengkeh terhampar, dijemur di tempat lapang, dan di gerai penjual banyak terdapat keranjang bambu yang unik. Keranjang ini adalah wadah emping melinjo, buah tangan khas Selayar. Emping ini banyak dijual lapak-lapak di pasar.

Yang juga menarik perhatian saya, adalah mobil-mobil angkutan yang tua, yang sepertinya di Jawa sudah tak ada lagi. Mobil angkutan dengan model pintu terbuka di bagian belakang. Mobil-mobil ini berjejer rapi mengarah ke pantai menunggu penumpang dan barang yang akan diangkut.
Keesokan harinya, Cinta Laut beraksi kembali menuju Pulau Bahuluan, pulau kecil tak jauh dari ujung selatan Pulau Selayar. Kali ini saya merasakan mabuk laut yang luar biasa karena memang saat itu ombak sedang ganas-ganasnya. Karena ombak keras menghantam pulau di sisi timur, Cinta Laut berlabuh di sisi barat.

Dari sisi barat ini, kami masih harus melintasi Pulau Bahuluan dengan berjalan kaki, sebab bagian pulau berpenghuni ada di sisi timur. Kawasan yang dilintasi lumayan berbahaya karena banyak terdapat batu karang yang tajam. Jika terjatuh, bisa dipastikan akan luka. Setelah berjalan hampir setengah jam, kami pun tiba.

Di pulau ini pemandangannya sangat berbeda dengan Pulau Selayar. Rumah-rumah mereka terbuat dari bambu, berbentuk panggung dan atapnya dilapisi daun nyiur. Rumah yang tampak sederhana, tanpa jangkauan listrik dari PLN dan air tawar dari PDAM. Sebagian besar laki-laki di pulau ini pergi ke laut mencari ikan, lobster, teripang, dan lain-lain. Saya sangat senang bisa bersua dengan orang-orang di pulau kecil.
Sementara kaum perempuan, bekerja di rumah membuat tikar dari daun kelapa, mengeringkan kelapa, atau pun mengeringkan teripang.

Masyarakat Bahuluan ternyata masih menghargai kelestarian laut mereka. Setiap orang menggunakan alat tangkap tradisional berupa bubu dan kedo-kedo untuk menangkap ikan. Pulau Bahuluan juga merupakan daerah situs sejarah. Konon, Jepang menjadikan pulau ini sebagai tempat latihan perang bagi orang-orang Indonesia untuk menghadapi tentara sekutu di masa Perang Dunia Kedua.

Penduduk Pulau Bahuluan rata-rata keturunan orang Ternate. Ada seorang penduduk tua yang masih menyimpan artefak moyannya yang berasal dari Tobelo, berupa parang dan perisai. Parangnya mirip dengan yang dihunus Pahlawan Nasioanl Pattimura yang ada dalam gambar uang pecahan Rp1.000.

Melihat Terumbu Mati di Taka Bonerate
Setelah bermalam di Pulau Bahuluan, keesokan harinya pelayaran ke tujuan utama dimulai, yaitu Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate atau Kepulauan Taka Bonerate. Saya merasa asing mendengarnya, karena yang saya tahu di Indonesia hanya Kepulauan Seribu. Padahal inilah salah satu taman laut terindah dan terluas di dunia.

Dalam pelayaran, kami diberi informasi dasar mengenai Taka Bonerate. Taka Bonerate adalah atol terbesar ketiga di dunia. Atol adalah puncak gunung di laut. Meski gunungnya “tenggelam” tapi bibir kawahnya yang “ditumbuhi” terumbu karang selama ribuan tahun membuat puncak gunung muncul di atas permukaan laut. Maka timbullah pulau-pulau. Bila dilihat dari udara, tampak seperti cincin. Makanya atol biasa juga diterjemahkan terumbu karang cincin.

Taka Bonerate berada di sebelah tenggara Pulau Bahuluan. Pelayaran butuh waktu lebih enam jam untuk mencapainya. Kembali saya mabuk laut. Tampak di dalam peta yang ada di ruang kemudi Cinta Laut bahwa Kepulauan Taka Bonerate terdiri dari banyak pulau, dan puluhan gosong. Rencananya kami akan mengunjungi lima pulau, yaitu Pulau Tarupa, Pulau Tinanja, Pulau Tinabo, Pulau Rajuni Kecil dan Pulau Jinato.
Kepulauan ini dijadikan Taman Laut Nasional karena potensi terumbu karangnya. Karena merupakan taman nasional, maka untuk memasuki kawasan tertentu harus mendapat izin dari pihak Jagawana. Meski kami sudah mengantongi Surat Izin dari Jagawana di Benteng, kami harus tetap melapor ke pihak Jagawana di Taman Nasional Taka Bonerate.

Banyak hal yang menarik dari pulau-pulau tersebut. Hamparan pasir putih yang indah, laut yang bersih dan terumbu karang yang berwarna-warni, aneka spesies laut yang mempesona, dan tentu saja keunikan suku-suku yang tinggal di pulau-pulau tersebut beserta keragaman sosial kultural mereka.

Pulau pertama yang saya kunjungi adalah pulau Tinanja (meski berlabuh di dekat Pulau Tarupa dan hanya fasilitator pelayaran yang mendarat di pulau itu). Pulaunya tak berpenduduk. Sepi. Hanya hamparan ilalang yang tumbuh dan tampak lima-enam buah pohon kelapa yang tinggal batangnya saja. Pulanya amat kecil, memanjang tak sampai 100 meter, lebarnya selemparan tangan. Pulau ini adalah daerah Zona Inti di Taman Nasional Taka Bonerate, yaitu zona yang tak boleh dilakukan penangkapan ikan atau aktivitas yang berpotensi mengganggu sumberdaya karang.

Karena kami datang tujuan riset, kami bisa masuk ke pulau ini. Di sini kami melakukan snorkling. Meski kemampuan snorkling terbatas, tetapi rasa ingin tahu ini makin mendesak saya untuk melihat kehidupan bawah laut. Prasangka saya terhadap bawah laut (terutama di Pulau Tinanja) sedikit meleset. Bila dibandingkan kehidupan bawah laut yang saya lihat di televisi, bagi saya, yang ditampilkan di televisi lebih menarik. Mungkin karena film dokumenter lebih memilih yang indah-indah. Faktanya, di Pulau Tinanja saya lihat terumbu-terumbu yang mati dan patah, walau masih terlihat ikan-ikan karang (ternyata ikan Nemo seperti di film Disney itu, cantik luar biasa), bintang laut, bulu babi. Apakah Zona Inti “sebagus” ini?

Kesenjangan Antar-suku
Cinta Laut meninggalkan Pulau Tinanja dan menyusuri gulungan ombak ke Pulau Tinabo. Kali ini pulau berpenduduk. Dan penduduk yang menghuninya berasal dari Suku Bajau. Nama ini terdengar samar-samar di telinga saya, karena yang saya tahu hanya Suku Bugis yang hidup di wilayah Sulawesi. Suku Bajau dikenal sebagai manusia perahu. Hidup di atas laut, berumahkan perahu. Namun itu yang terjadi pada nenek moyang suku mereka. Kini terjadi pergeseran gaya hidup. Alam mungkin sudah tidak lagi bersahabat sehingga mereka memilih tinggal di daratan. Meski hal ini tidak mengurangi ketergantungan mereka kepada laut.

Suku Bajau tetap orang laut. Suku Bajau yang tinggal di pulau Tinabo adalah “peserta” migrasi musiman dari pulau Rajuni Kecil. Mereka tinggal di Pulau Tinabo pada waktu musim barat untuk mencari ikan dan pada saat musim timur atau hari raya Idul Fitri tiba mereka mudik ke Pulua Rajuni. Wah, ternyata ada juga tradisi mudik di sini.

Saya melihat adanya rasa kekeluargaan yang tinggi pada masyarakat suku ini. Ya memang, suku ini menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Mereka terbiasa makan malam berkumpul bersama walau makanan saat itu hidangannya hanya ala kadarnya.
Keesokan paginya saya dan Tim Cinta Laut melanjutkan perjalanan ke Pulau Rajuni Kecil. Kampung halaman Suku Bajau. Ternyata ada dua suku yang hidup di pulau ini, yaitu Suku Bajau dan Suku Bugis. Saya berkeliling untuk melihat kondisi nyata dua suku yang hidup berdampingan. Terlihat perbedaan mencolok dalam keseharian mereka. Sebagian besar masyarakat Bugis mempunyai kapal untuk mengangkut semen, kayu, pasir, dan lain sebagainya. Sedikit yang menjadi nelayan. Sedangkan hampir seluruh mayarakat Bajau adalah nelayan. Tampak kesenjangan terjadi di sini, rumah-rumah orang Bajau sangatlah sederhana. Hanya terbuat dari bambu, berbentuk panggung, dan beratap daun kelapa. Rumah orang Bugis sudah bersemen dan nampak rapi.

Selepas mengamati kehidupan kedua suku ini di Pulau Rajuni kecil, saya dan teman-teman kembali snorkling di pantai pulau tersebut. Berbeda dengan pulau Tinanja, laut di pulau ini lebih indah, lebih mempesona. Banyak ikan karang berwarna-warni berenang mengelilingi terumbu karang. Tidak banyak terumbu yang rusak, padahal aktivitas di pulau ini lebih banyak. Kenapa ya?

Kegiatan nelayan di Pulau Rajuni sedikit menyorot perhatian saya. Salah satu orang yang berpengaruh di sana berkata adanya pelarangan penggunaan kompresor dan bubu tindis untuk menangkap ikan. Kompresor biasanya digunakan untuk menangkap teripang, tapi nelayan pintar menyalahgunakannya untuk membius ikan-ikan karang. Ya, nelayan melakukan apa saja untuk mendapat ikan. Saya jadi bertanya, apakah masyarakat Rajuni turut serta menyumbang kerusakan terumbu karang kita akibat bom dan bius?
Pulau Jinato lebih berkembang
Pelayaran terakhir Cinta Laut menuju Pulau Jinato. Pulau yang dihuni masyarakat Bugis yang katanya dari Kabupaten Sinjai. Pulau ini lebih berkembang dibanding tiga pulau yang saya kunjungi. Saya melihat beberapa keramba yang mengapung di laut. Keramba ini adalah bentuk usaha para nelayan untuk mendapat uang. Di pulau tersebut transaksi ikan hidup dilakukan. Komoditas pulau tersebut berupa ikan sunu dan teripang menjadi unggulan para masyarakat Jinato.

Cinta Laut sempat mampir ke keramba milik penduduk Jinato. Pemiliknya menuturkan modal usaha mereka peroleh dari pengusaha yang tinggal di Benteng, Selayar. Dan ikan-ikan yang didapat harus dijual kepada orang tersebut untuk diekspor. Terjadi patron-client dalam usaha perikanan di sini.

Saat kami berada di keramba itu, datanglah sebuah kapal yang membawa ikan hidup jenis sunu. Agak lucu bagi saya, di kapal tersebut tidak terdapat jaring, bubu, pancing, atau alat tangkap apapun. Yang terlihat hanyalah sebuah kompresor. Mereka menangkap kerapu dengan apa? Dengan tangan kosong? Mungkinkah dengan bius? Saya meninggalkan keramba itu membawa tanda tanya besar.

Masyarakat Jinato adalah masyarakat Bugis perantauan dari Pulau Sulawesi Selatan, tapi sudah beberapa generasi. Berbeda dengan penduduk Rajuni yang heterogen, disini masyarakatnya cenderung homogen. Pulau ini lebih berkembang, lebih maju dan modern. Dapat dikatakan masyarakat terbuka dengan kemajuan teknologi.

Tanggal 4 September, saat semua anggota tim menikmati makan malam, Cinta Laut berlayar menuju Tana Beru, Bulukumba. Sengaja kami berangkat malam agar tiba di tujuan pada pagi hari. Perjalanan ditempuh selama hampir 12 jam melintasi perairan antara Pulau Selayar dengan Taka Bonerate, antara Pulau Selayar dengan Pulau Bahuluan, dan menyusuri pesisir barat Pulau Selayar. Meski lebih jauh, kami sengaja melewati pesisir barat sebab ombak di pesisir timur sungguh tidak bersahabat.

Seminggu saya lewati mengarungi perairan di bagian selatan Pulau Selayar yang ditaburi pulau-pulau yang indah, Suku Bajau dan Suku Bugis yang ramah. Saya pulang membawa banyak pertanyaan, khususnya tentang praktik penangkapan ikan yang dilakukan para nelayan dan kerusakan terumbu karang. Tapi, saya juga membawa harapan: semoga di laut lainnya di Nusantara, dapat saya temui keindahan dan daya pesona yang sama.

Tidak ada komentar: