Laman

Sabtu, 04 April 2009

Menunggu Angin Berhembus ke Taka Bonerate



Pada suatu pagi di antara pulau Jinato dan Kayu Adi, Selayar 1996. Matahari empat puluh lima derajat di timur. Beberapa warga Bugis sedang mengamati rumpon hasil inisiatif mereka. Saat itu, mereka juga melepas mata pancing. Tidak lama, Asape salah seorang dari mereka, lelaki kekar berkulit legam, teriak lantang. “Ajji…tunaaaa…” mengarah pada sang ayah, Haji Syahring, kepala desa setempat. Asape dengan sigap menarik tali nilon besar yang ujungnya disambungkan dengan kawat baja lengkap dengan mata pancing. Air laut membentuk pusaran putih di sekitar rumpon yang dalamnya lebih dari seribu meter, rumpon yang belum seminggu dibenamkan itu.
Ikan tuna sirip biru, berontak di ujung kawat pancing. Seekor blue-fin tuna seberat lebih 50 kilogram menggelepar di geladak perahu kayu berukuran 5 grosston. Kami pulang ke kampung dan membawa dua ekor tuna sirip biru. Kegiatan memancing itu hanya sambilan saja karena mereka memasang rumpon targetnya hanya untuk ikan permukaan kecil. Asape hanya akan mengantongi seratus ribu jika kembali ke kampung, atau ratusan ribu jika dia menjualnya ke Makassar. Mungkin akan lebih mahal jika dijual ke luar negeri.
Sekelumit cerita dari pulau Jinato, di laut Flores adalah bukti potensi yang terkandung dalam gugus Taman Nasional Taka Bonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan. Jika saja warga berusaha dengan intensif dan ekstensif dengan target ikan tuna atau yang sejenisnya bukan mustahil mereka akan sangat maju. Luas Taka Bonerate yang mendekati 2.200 km2 adalah habitat yang subur bagi ikan karang ekonomis sedangkan perairan perbatasannya (slope), misalnya dengan pulau Kayu Adi di sebelah barat adalah lokasi dengan potensi ikan permukaan (pelagis) yang sangat tinggi.
Dilema
Kawasan ini telah lama dijadikan wilayah eksploitasi warga setempat, juga oleh nelayan dari wilayah lainnya di Indonesia seperti dari Buton, Bali, Madura, Nusatenggara dan beberapa nelayan dari kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan, seperti Takalar, Sinjai dan Bulukumba. Limpahan hasil laut kawasan atol ketiga terbesar di dunia setelah atol Kwajifein dan Suvadiva di lautan Pacific jadi incaran pelaku usaha perikanan. Bukan hanya ikan karang seperti kerapu, kakap, cumi-cumi dan cakalang tetapi juga teripang, gurita bahkan kerang-kerangan. Kawasan strategis ini adalah salah satu wilayah ‘segitiga emas’ perikanan Sulawesi-Nusatenggara-Bali.
Penulis pernah membuat kalkulasi sederhana tentang potensi ekonomi ikan hidup dalam kawasan yang terdiri dari 8 pulau berpenghuni dari 21 pulau yang ada. Sebagai misal, pulau Rajuni Kecil pada tahun 1999 terdapat 5 kerambu penampung ikan (ikan kerapu) maupun ikan kerapu tikus. Sebagai ikan eskpor, berdasarkan hasil wawancara, saat itu ikan-ikan tersebut dihargai perkilo antara 150ribu hingga 250ribu. Seorang pemilik keramba bisa menampung 200 kilo sebelum dipindahkan ke kapal ekspor. 200 kilo x 150.000 (nilai terendah) = 30 Juta perkeramba dan jika dikali lima = 1,5 Milyar. Itulah gambaran minimal dari bisnis ikan hidup di pulau Rajuni Kecil.
Setiap bulan biasanya mereka mengirim dua kali trip. Jadi dalam sebulan, satu desa mengirim dengan nilai Rp. 3 Milyar. Saat itu, terdapat 8 pulau berpenghuni dari 21 pulau dalam Taman Nasional. Jika masing-masing pulau mempunyai keramba sebanyak pulau Rajuni Kecil maka 8 pulau x 3 Milyar = 24 Milyar perbulan. Masa-masa produksi ikan karang biasanya pada musim timur dan peralihan. Katakanlah enam bulan setahun. Jadi jika dikalikan 6 bulan x 24 Milyar = 144 Milyar pertahun nilai ekonomi bisnis ikan karang hidup di Taka Bonerate. Itu kalkulasi kasar minimum tentang ikan karang hidup, belum lagi ikan cakalang, tuna dan jenis lainnya yang belum dimanfaatkan secara intensif. Jika saja satu persen saja menjadi nilai balik.
Tidak salah jika Herman Cesar(1997) seorang environmental economist Bank Dunia menyebut bahwa jika luasan terumbu karang dikelola dengan baik dalam bentuk usaha perikanan dan pariwisata maka milyaran dollar akan memberikan manfaat nyata setiap tahunnya. Terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan rata-rata US$ 15.000/km2 jika dikonversi menjadi kegiatan perikanan dan pariwisata. Namun, kini, kawasan itu masih dianggap kawasan miskin secara ekonomi. Beberapa donor pembangunan internasional bahkan sejak dua puluh tahun terakhir telah menyuntik ratusan milyar untuk optimalisasi fungsi sosial ekonomi dan ekologi kawasan ini.
Benarkah selama ini sumberdaya perikanan dan kelautan Selayar hanya menjadi cerita pemanis mulut saja? Ada apa dengan pemanfaatan sumberdaya laut tersebut? Penerimaan PAD dari sektor perikanan, sangat rendah sekali. Jangan harap mendapatkan jawaban memuaskan dengan nominal tinggi. Para pemangku kepentingan terutama pejabat pemerintah tapi tidak mampu berbuat maksimal.
Bagi pemerintah kabupaten, kawasan Taka Bonerate sangat kaya namun mereka belum meraup pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan. Status taman nasional sejak tahun 1992, juga berimplikasi pada bentuk kegiatan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan. Sayangnya,masih banyak pihak sangsi dengan pola pengelolaan yang saat ini berada dibawah naungan Departemen Kehutanan. Bagi pemerintah kabupaten Selayar, kondisi ini menjadi dilematis untuk mampu menggerakkan roda ekonomi.
Marilah kita tengok situasi aksesibilitasnya. Hamparan daratan utama Selayar dengan pulau-pulau di bagian selatan berbentuk seperti telapak kaki dimana telapaknya terdiri dari pulau-pulau karang, seperti Taka Bonerate, Bonerate, Jampea, Kayu Adi, Kalao Toa, pulau Madu di perbatasan Nusa Tenggara Timur dan tungkai kakinya adalah daratan utama Selayar. Bentuk geografi dan akses transportasi laut nampaknya tidak berpihak ke kota kabupaten, Benteng yang berada di sisi barat daratan Selayar. Bahkan kini, jalur pelayaran dari kota Benteng ke pelabuhan Lappe tak lagi beroperasi.
Untuk menjangkau Taka Bonerate misalnya, dari ibu kota kabupaten, Benteng pada musim teduh membutuhkan waktu sekitar delapan jam dengan menggunakan jolor atau peruahu kayu mesin dalam. Atau dengan speedboat hingga tiga jam. Di sekitar Taka Bonerate terdapat pulau-pulau besar seperti Kayu Adi, Jampea, Bonerate hingga pulau paling jauh pulau Madu yang berbatasan dengan propinsi Nusa tenggara Timur.
Faktanya, nelayan lebih tertarik memasarkan hasilnya ke kabupaten Sinjai atau Bulukumba. Kapal-kapal besar lebih senang langsung menuju Benoa Bali, Kendari, Makassar jika sudah mengeruk hasil perairan setempat.
Menggugat Doktrin Pengelolaan
Terkait optimalisasi fungsi kelautan utamanya kepentingan pariwisata, Selayar pantas minder pada cerita kabupaten Kepulauan Wakatobi. Kabupaten baru yang telah menyodok posisi Selayar dalam menggenjot pembangunan suprastruktur dan infrastruktur pembangunannya. Setelah sebelumnya sukses memajukan suprastruktur pariwisata dengan ecotourism yang berbasis masyarakat, kini kabupaten yang dipimpin oleh mantan aktivis LSM itu siap dengan bandara berkapasitas pesawat besar.
Mereka mengincar wisatawan dengan memperbaiki infrastruktur penerbangan, hendak mendaratkan pesawat mulai dari Fokker hingga Boeing yang berbadan lebar. Dengan runway lebih dari dua ribu meter, mereka yakin bisa menggaet lebih dari 30% wisatawan pada tahun 2009.
Ini adalah pilihan rasional ditengah krisis keuangan yang membelenggu sektor ril. Ketika mereka menganggap ada potensi alam yang layak jual dengan usaha pariwisata dan kualitas sumberdaya terumbu karang yang mulai terjaga dengan baik, mereka melakukannya. Beberapa program pemberdayaan masyarakat sebelumnya berhasil mengendapkan kesadaran wisata dan mendorong keunggulan lokalitas wilayah. Perusahaan wisata setempat didukung oleh kebijakan pemerintah setempat telah memancing antusiasme para pelancong untuk datang ke Wakatobi dengan memperkuat basis industri wisata. Salah satunya adalah Pulau Hoga, surga wisata bawah air yang kesohor di mancanegara.
Kontras dengan yang terjadi di Selayar, saat ini, hanya satu usaha wisata yang beroperasi dan layak menyandang ‘proper management’ yang dikelola oleh seorang Jerman bernama Jochen. Perusahaan ini berhasil membuat paket wisata yang lengkap dengan pelayanan yang menyeluruh. Sayangnya, benefit ke kas kabupaten masih sangat minim. Coba tengok disparitas antara income perusahaan yang mencapai milyaran sementara aliran ke kas pemkab hanya belasan juta.
Tidak adalah yang bisa beroperasi seperti kepunyaan Jochen tersebut? Mengapa Taka Bonerate yang sudah lebih dahulu dikelola oleh berbagai pihak dibanding Wakatobi tidak bisa maju? Padahal Selayar punya atol ketiga terbesar di dunia dengan hamparan terumbu karang luas, untuk wisata snorkeling dan diving, satu brand yang layak dijadikan icon wisata?
Saat ini, yang mampu menggaet benefit dari raksasa tidur itu adalah kabupaten Bulukumba dengan Bira-nya. Terdapat berbagai jenis phinisi atau boat pengangkut turis yang mampu dibawa berkeliling pulau menikmati keindahan alam laut, menikmati pantai putih dan ruaya ikan paus dari laut Flores hingga ke perairan di sebelah timur punggung kepulauan Selayar pada musim peralihan musim barat. Meranalah kabupaten kaya potensi sumberdaya hayati laut itu. Sumberdaya perikanan dan kelautannya, hanya menjadi incaran nelayan dari luar.
Status Taman Nasional mestinya mampu menjadi pendukung kegiatan pemanfaatan yang lebih baik. Organisasi UPT Taman Nasional yang hingga kini masih di bawah naungan Departemen Kehutanan ini perlu didorong untuk selaras dengan kepentingan daerah. Eksistensi sebagai taman nasional sejak tahun 1992, harusnya telah berdampak signifikan pada semakin meningkatnya produktivitas terumbu karang atau habitat ikan lainnya sebagai penyedia stok perikanan yang bermuara pada peningkatan ekonomi regional.
Namun dewasa ini, justeru tren degradasi ekologi laut, dan semakin tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di wilayah pesisir semakin mengemuka. Tidak saja di Taka Bonerate tetapi juga di wilayah pesisir lainnya. Pondasi bagi pembangunan sumberdaya laut dirasakan masih jauh dari harapan. Upaya mengisi kapasitas melalui perbaikan input produksi dan adopsi model-model yang berkelanjutan belum menjadi arus utama perencanaan pembangunan. Padahal ini penting untuk menawarkan pembangunan sesuai dengan sifat lokalitas kawasan.
Berbagai kawasan potensial dilanda issu global, dan doktrin pengelolaan konservasi belaka telah memenjarakan kreativitas. Tarik menarik kepentingan antara pelestarian (konservasi) dan pemanfaatan (eksploitasi) yang cenderung membelenggu otoritas pembangunan setempat dalam semangat otonomi. Salah satunya adalah kawasan Taman Nasional, kawasan strategis itu mesti direview efektivitasnya tanpa perlu mengesampingkan konservasi sumberdaya. Tujuannya adalah sumberdaya yang terkandung dapat termanfaatkan dengan baik demi pembangunan sosial ekonomi setempat. Kondisi stagnasi output pengelolaan, harus digugat dan tidak boleh dibiarkan karena sesunguhnya aturan dan pondasi pengelolaan sudah ada. Setidaknya mendorong pemanfaatan yang seimbang.
Sejalan dengan itu, diperlukan reorientasi pengelolaan. Persepsi bahwa laut bersifat open-access, dimana semua bisa memanfaatkannya dengan bebas adalah keliru karena mestinya dapat dikontrol dengan baik dan benar karena segala aturan sudah ada. Tengoklah undang-undang otonomi daerah atau undang-undang pengelolaan pesisir dan laut yang baru dari Departemen Kelautan Perikanan, pengelolaan dan kontrol pemanfaatan dan peran otoritas kabupaten sudah sangat jelas tersurat.
Berbagai perangkat perundang-undangan itu adalah sumber mata angin bagi perencana, fasilitasi dan pengambil kebijakan pembangunan, tentu saja untuk mendorong laju pamanfaatan sumberdaya laut secara bertanggung jawab dimana salah satu targetnya adalah kawasan kunci Taka Bonerate. Sumberdaya perikanan dan pariwisatanya terlalu sayang untuk dibiarkan lelap dalam sepi dan keterisolasian. Atau bahkan, pembiaran pengelolaan yang tak seimbang.
Selamat ulang tahun bagi Kabupaten Selayar, selamat hari Nusantara yang ke 9, majulah pembangunan kelautan benua maritim Indonesia khususnya kabupaten kepulauan Selayar. Deklarasi Djuanda dan pengakuan dunia internasional melalui konvensi hukum laut/UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea yang intinya adalah kedaulatan pengelolaan, mestinya telah menjadi titik tonggak pembangunan kelautan Indonesia. Pertanyaannya kemudian, setelah ulang tahun ini, mampukah segenap stakeholders menorehkan pengelolaan sumberdaya lautnya dengan benar dengan memanfaatkan keunggulan geografis dan kompetitifnya tersebut?

Tidak ada komentar: