Laman

Sabtu, 04 April 2009

Kabupaten Maritim di Sulawesi Selatan



Tak salah kalau Pemerintah Kabupaten Selayar menetapkan visi "Kabupaten Maritim" untuk daerah ini. Faktanya, daerah ini hanya memiliki luas daratan sekitar 1.100 kilometer persegi (km²), sementara wilayah perairan-dihitung 4 mil dari garis pantai-mencapai luas sekitar 21.000 km².
Dengan fakta ini, pemerintah sadar bahwa kekayaan daerah ini ada di laut. Maka, ditetapkanlah pariwisata dan perikanan sebagai sektor paling penting dan harus jadi fokus yang akan digarap maksimal. Pilihan ini tentulah tidak ditetapkan asal-asalan.
Untuk pariwisata, misalnya, 50 persen atau 10.000 km² dari total 21.000 km² wilayah perairan di Selayar adalah perairan yang di bawahnya berkarang dan indah. Sebanyak 50 persen (5.000 km²) dari perairan yang memiliki karang tersebut berada di Taka Bonerate. Dunia mencatat dan menetapkan, Taka Bonerate adalah wilayah perairan terbesar dan terindah ketiga di dunia dengan pemandangan bawah laut yang meliputi karang dan beragam ikan.
"Kami sadar bahwa perairan adalah sektor paling menonjol di Selayar. Dengan kata lain, kekayaan dan potensi terbesar daerah ini ada di laut. Dengan segala yang ada di Selayar, daerah ini memiliki karakteristik sendiri yang tentu saja berbeda dengan wilayah lain di Sulsel. Makanya, dalam banyak hal, kami memberi perhatian yang lebih besar di laut ketimbang di darat," kata Bupati Selayar HM Akib Patta.
Dipilihnya pariwisata, jelas Akib, tak lepas dari keberadaan Taka Bonerate yang sudah telanjur terkenal hingga ke mancanegara. Apalagi belakangan diketahui bahwa tak hanya Taka Bonerate, tetapi sejumlah besar pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Selayar ternyata adalah pulau-pulau yang indah.
Hanya sayang memang karena untuk menggenjot sektor pariwisata ini tidak sedikit kendala yang dihadapi pemerintah setempat. Mungkin klasik, tetapi kenyataannya memang masalah infrastruktur, seperti bandara, pelabuhan feri, serta jalan, menjadi kendala terbesar.
Sebagai contoh, bandara yang masih masuk kategori bandara perintis. Sepanjang bandaranya masih perintis, tentulah tidak mudah menjual pariwisata daerah ini. "Harus kami akui bahwa orang masih takut terbang dengan pesawat kecil. Jadi, kalau mau mendatangkan wisatawan, terutama dari mancanegara, bandara memang harus naik kelas jadi bandara yang bisa didarati pesawat besar," ungkap Akib.
Pilihan melalui jalur laut pun nyaris sama sulitnya dengan jalur udara. Faktanya, selain pelabuhan yang belum memadai, armada penyeberangan feri pun tidak banyak jumlahnya. Sementara itu, masalah jalan juga menjadi kendala. Sepanjang 100 km jalan provinsi yang menghubungkan ujung utara Selayar di Pammatata ke pelabuhan feri di Selatan, yakni di Pattumbukang, masih sangat tidak layak.
"Padahal, pelabuhan feri yang ada di Pattumbukang sudah bisa menghubungkan Selayar dengan Flores. Kami sebenarnya berharap pelabuhan ini bisa jadi pintu keluar masuk ke Taka Bonerate. Artinya, wisatawan dari Bali dan Nusa Tenggara mungkin bisa ke Taka Bonerate melalui pelabuhan feri ini. Tapi sayang karena belum memadai, apalagi jalannya juga parah," kata Akib menambahkan.
Banyaknya kendala bukan berarti pariwisata di Selayar tidak jalan sama sekali. Buktinya kunjungan wisatawan, utamanya dari mancanegara, ke Taka Bonerate terus saja meningkat. Bahkan, dua investor dari Jerman dan Jepang, kendati masih kecil-kecilan, sudah pula mulai menggarap pariwisata. Pemerintah tentu saja tak hanya diam.
"Kami berusaha semaksimal mungkin membenahi apa-apa yang bisa kami lakukan dan sesuai kemampuan kami. Misalnya saja kami membuat kampung wisata di Jammeng, Pantai Timur Selayar. Di kampung ini kami mengarahkan dan membantu penduduk untuk membenahi rumahnya, memberi listrik dan air bersih agar wisatawan bisa berwisata sambil ikut merasakan kehidupan masyarakat. Hasilnya pun bisa langsung ke masyarakat. Rupanya ini cukup diminati. Selain itu, kami juga terus melakukan promosi, baik bekerja sama dengan biro travel maupun organisasi-organisasi lain yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata," ujar Akib menjelaskan.
Perikanan, sektor lain yang juga menjanjikan, nyatanya menghadapi kendala sama beratnya dengan sektor pariwisata. Hingga kini, Selayar belum memiliki pelabuhan perikanan. Akibatnya, retribusi dari sektor ini nyaris bisa dibilang belum ada. Padahal, ikan-ikan di perairan Selayar umumnya berkualitas ekspor, seperti napoleon, kerapu, lobster, dan lainnya. Tragisnya, hasil laut perairan Selayar justru lebih banyak dinikmati nelayan-nelayan dari daerah tetangga, seperti Bulukumba, Sinjai, bahkan dari Bali.
"Lebih banyak nelayan dari Bulukumba, Sinjai, bahkan Bali yang menangkap ikan di perairan Selayar. Sebagian lagi membeli hasil tangkapan nelayan Selayar. Kami belum dapat apa-apa karena selain tidak punya pelabuhan perikanan, sebagian hasil tangkapan itu dibeli di tengah laut," ujar Akib.
Dengan alasan ini, pemerintah mulai merintis pembangunan pelabuhan perikanan di Benteng Selayar. Rencananya, pelabuhan ini akan dijadikan pelabuhan yang dilengkapi berbagai sarana, seperti cold storage dan dermaga yang memadai. Tapi, mengingat biayanya yang sekitar Rp 30 miliar, Pemerintah Kabupaten Selayar berharap pusat atau Departemen Kelautan dan Perikanan mau ikut membantu.
Pemerintah setempat berharap keberadaan pelabuhan perikanan ini akan membantu pemasukan daerah, utamanya dari retribusi, apalagi selama ini memang perairan belum menyumbang ke PAD. Retribusi dari sektor lain, seperti pertanian dan perkebunan, juga tidak ada. Satu-satunya retribusi yang terbesar berasal dari pasar.
"Murni pasar karena kami tidak memungut dari pertanian. Kalau petani menanam bagus dan hasilnya bagus serta tidak ada andil pemerintah di situ, saya pantang memungut retribusi. Saya hanya mau memungut bila di situ saya punya andil, misalnya membuat produk mereka memiliki nilai tambah," kataAkib.

Tidak ada komentar: